Thursday 13 June 2013

Kasus Stress dan Strategi Coping Menurut Teori Lazarus & Folkman

Primary
Appraisal
Primary
Appraisal
Coping Strategy
Stress Outcomes


I.
GAMBARAN KASUS


NSH adalah seorang pria berusia 43 tahun, berpendidikan SLTA, bersuku bangsa Sunda dari ayah maupun ibu namun ia lahir dan besar di Jakarta. Ia beragama Islam dan saat ini bermukim di kota Serang, Banten.
            NSH memiliki isteri bernama NM berusia 34 tahun, berpendidikan SLTA, berstatus Ibu Rumah Tangga meskipun sebelumnya pernah bekerja. NSH dan NM dikaruniai tiga orang anak, yaitu AN anak pertama, berusia 14 tahun, pelajar SLTP. Anak kedua bernama JK, berusia 12 tahun, pelajar SD. Anak ketiga bernama AD, berusia 3 tahun dan belum bersekolah.
            NSH sudah tidak memiliki orangtua lagi, ayahnya RM telah meninggal dunia 10 tahun lalu dalam usia 85 tahun dan ibunya SM juga telah meninggal 5 tahun yang lalu dalam usia 80 tahun. Adik kandung satu-satunya yang merupakan adik kembarnya bernama DD telah meninggal dunia ketika berusia 3 tahun.
            NSH menempuh pendidikan di SD Islam Al-Mubasysyirin, Jakarta Selatan, tahun 1971-1977; SMP Ganesha, Jakarta Selatan, tahun 1979-1982; dan SMA Muhammadiyah, Jakarta Selatan, tahun 1982-1985.
            Pada tahun 1978 s/d 1979, NSH bekerja di PT. Jakarta Service, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sebagai Cleaning Service. Kemudian pada tahun 1979-1982, ia bekerja di PT. Helico Service, Tebet - Jakarta, sebagai Cleaning Service. Setelah tidak memiliki pekerjaan tetap selama sekitar 5 tahun, kemudian pada tahun 1987 s/d 1990 ia bekerja di PT. Company Service, Ciputat – Jakarta, sebagai Pengawas Cleaning Service. Kemudian ia tidak memiliki pekerjaan tetap sekitar 3 tahun. Pada tahun 1993 s/d 1995, ia bekerja sebagai supir pribadi di rumah dr. Jujun (ayah dr. Boyke Nugraha), Menteng – Jakarta Pusat. Di bawah ini adalah kisah mengenai stress yang dialaminya sebagaimana yang diceritakan kepada penulis.
Dengan membaca basmalah – saya uraikan riwayat hidup sejak kecil saya mengalami trauma, keluarga saya termasuk keluarga yang kurang harmonis, dengan kata lain keluarga yang ‘broken-home’. Sejak kecil saya hidup serba kekurangan baik moril maupun materil. Saya menjalani itu semua dengan keprihatinan dan kesabaran, memang terkadang juga labil. Untungnya dan saya bersyukur, dulu saya pernah sedikit belajar ngaji dengan nenek dari bapak dan saya sering ikut pula kegiatan remaja Islam di mesjid-mesjid.
Sekarang saya sudah berumah tangga dan dikaruniai tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anak yang paling besar bersekolah di SMPN 2 Serang. Senang dan bangga mempunyai anak yang pintar di sekolah. Tapi sedihnya apabila sang anak membutuhkan biaya sekolah (kebutuhan) mendadak, sedangkan saya menganggur, paling-paling cuma bisa mengurut dada, dan batinpun berguncang, menjerit dan menangis.
Selama ini istri saya terus menerus mendesak saya mencari pekerjaan. Hal ini membuat saya mumet tujuh keliling. Coba pikir siapa orang yang tidak ingin membahagiakan keluarganya. Andaikata saya normal seperti dulu tak punya  penyakit hernia (burut) mungkin saya sudah bekerja apa saja, narik becak atau jadi kuli di pasar, yang penting menghasilkan uang untuk kebutuhan keluarga. Masalahnya adalah untuk kerja berat saat ini saya sudah tidak bisa.
Sambil menunggui warung mertua, ditengah malam saya sering merenungi nasib. Bagaimana masa depan anak-anak dan rumah tanggaku kelak. Sekarang saja, bulan Juli mendatang kontrak rumah harus dibayar. Listrik, PAM dan SPP anak tertua sudah 2 bulan belum dibayar. Hal-hal itu membuat aku stress (depresi). Staminaku yang mulai menurun dan kadang aku mudah sakit-sakitan.
Dulu ketika kami sekeluarga tinggal di Ciamis, isteriku membantu usaha ibunya di pasar Ciamis yaitu berjualan soto ayam. Beberapa tahun kemudian, ibu mertuaku menyuruh meneruskan jualannya, karena ibu mertuaku mau merantau ke Serang. Aku disuruh cari modal buat ibu mertuaku, dan dapat Rp. 250.000,- pinjam dari ibu Een. Terus ibu mertuaku pergi ke Serang Banten untuk berdagang di sana. Isteriku meneruskan usaha ibunya di Ciamis. Sedangkan aku bekerja narik mikrolet di Jakarta dan pulang ke Ciamis 1-2 bulan sekali. Cuma aku tak habis pikir, ibu mertuaku ninggalkan hutang di koperasi Rp. 300.000,-. Jadi kalau kupikir usaha isteriku cuma buat bayarin hutang ibunya. Setelah 3 tahun, usaha jualan soto yang dijalani istriku berangsur-angsur menurun omzetnya. Kemudian aku pun berhenti jadi supir untuk membantu usaha istriku, namun usaha tidak kunjung membaik. Ibu mertuaku akhirnya mengajak kami pindah ke Serang. Tapi sebelum berangkat disuruh cari modal buat dagang. Dengan susah payah aku dapat uang Rp. 300.000,-. Kami mengontrak rumah di Serang sampai sekarang. Selama menjalani kehidupan di Serang-Banten, kumulai dari nol lagi. Awalnya aku mulai berjualan nasi di tempat ibu mertua. Isteriku dan ibunya mendapat bagian siang sedangkan aku bagian malam, karena kami berjualan siang dan malam.
Dua tahun kemudian tempat itu dikasih oleh ibu mertua kepada aku dan isteri, sedangkan ibu mertuaku menyewa tempat tak jauh dari tempat yang lama. Kurasakan kepedihan, keprihatinan selama berjualan, karena warung terbuat dari tenda sederhana, tidak ada listrik, kalau hujan kehujanan, bila ada angin kencang sampai-sampai aku pegangi tenda supaya tidak roboh.
Beberapa tahun kemudian usaha kami ada kemajuan, aku dapat uang hasil warisan orangtua, sebagian untuk membayar hutang dan sebagian untuk membuat warung dan tambahan modal. Sedikit demi sedikit warungku ada kemajuan. Setelah berjalan setahun, rupanya ada orang yang tidak ingin kami maju (maaf bukan su’uzon, tapi ini nyata). Singkat cerita kami kehabisan modal dan dagangan kami sepi pembeli. Mungkin orang modern tidak percaya sebelum mereka mengalami sendiri. Warung tempat kami berjualan ada yang mau merebut. Hampir saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila istriku tidak mencegahku. Akhirnya dengan musyawarah RT/RW setempat warung itu dibayar Rp. 250.000,-. Aku mengalah… aku istighfar… biarlah nanti Tuhan yang akan membalasnya.
Setelah lahir anak ketiga, aku kembali ke profesi lama narik angkot di Serang. Alhamdulillah aku menjalaninya dengan senang hati dan yang penting keluargaku tidak kelaparan dan kehujanan serta kepanasan, walaupun pendapatan jadi supir angkot jurusan Serang Kota hanya pas-pasan. Aku tak bisa berpisah lama-lama dengan anakku yang ketiga karena cuma dia yang sempat aku tunggui saat kelahirannya. Aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku pada anak-anakku. Tapi kenapa yang satu ini lain dari yang lain, mungkin karena dia masih kecil baru berumur 2,5 tahun.
Tahun 2005, BBM naik, mulailah datang cobaan lagi, narik angkot mulai sepi dan setoran tak terkejar. Banyak pengusaha mobil angkot yang gulung tikar termasuk tempat aku bekerja. Semua mobilnya dilelang, banyak yang menganggur termasuk aku. Terpaksa aku membantu lagi ibu mertuaku berjualan pada malam hari. Aku bersyukur ibu mertuaku mau membantu biaya sekolah anak-anakku dan makan kami. Aku malu, sedih rasanya, aku ingin mati saja (mungkin saat itu aku sedang berputus asa). Untung masih ada seorang sepupuku yang sering membantuku baik itu secara moril maupun spiritual. Jasa-jasanya tak pernah aku lupakan. Aku Cuma dapat berdoa semoga amal-amalmu diterima Allah dan diberikan berkah olehnya, amin.
Hal yang yang juga membuat aku stress adalah aku tidak suka pada isteriku dan ibu mertuaku yang masih suka egois. Kalau mereka sedang sakit, aku sangat perhatian sekali, tapi bila aku sakit, boro-boro dipijitin, ditengok juga tidak ditanya juga tidak. Aku suka jadi sedih, prihatin dan kesal. Sekarang saja begini, bagaimana kalo nanti aku sudah payah atau tua.
Sakit herniaku sering kambuh namun tahun berganti tahun tak kurasakan, ternyata penyakitku semakin parah. Untuk sembuh harus dioperasi tapi biayanya mahal. Aku coba berobat ke tukang urut, sampai sekarang bertambah parah dengan usiaku yang semakin bertambah dan staminaku yang semakin menurun. Kemungkinan disebabkan atau efek dari penyakit yang saya derita dan ditambah pikiran yang kalut (ruwet). Memang tidak semua orang tahu apa-apa yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang melihat dari luarnya saja, tapi tidak dari dalamnya.
Suatu hal yang rahasia, masalah hubungan suami-isteri, sudah tiga bulan tidak harmonis. Dengan kata lain tiga bulan pisah ranjang. Di luar biasa-biasa aja, tapi di dalam, entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mudah-mudahan saya bisa kontrol emosi dan dikuatkan iman. Saya akan berusaha semaksimal mungkin menjaga keimanan dan ketaqwaan saya pada Allah, yang saya rasakan ada kemajuan. Saya mohon bantuan untuk berbuat yang terbaik. Apa-apa yang kita harapkan belum tentu kita gapai atau terwujud. Begitu pula sebaliknya. Apa-apa yang kita tak kehendaki bisa terjadi. Kita hanya manusia biasa yang cuma bisa berusaha dan berdoa untuk mewujudkan sesuatu yang kita kehendaki, akan tetapi Tuhan juga yang menentukan. Saya berusaha menghibur diri dengan jalan apapun.
Aku sadar dengan keadaanku ini, keadaan vakum tidak mempunyai pekerjaan alias menganggur ditambah lagi mempunyai penyakit hernia (turun bero) yang tidak boleh dianggap ringan. Bila lama-lama didiamkan akan berbahaya. Kalu sedang kumat badanku panas dingin (meriang), badan pegal-pegal, dan kepala pening. Bagaimana orang mau ngasih pekerjaan kalau kondisi kesehatanku begini. Sebetulnya aku malu sekali kalau dikasih sesuatu apalagi meminta bantuan orang lain. Tapi dengan keadaanku begini yach terpaksa aku lakukan, tapi dengan tidak melanggar hukum.
Hampir seminggu ini aku tinggal di Jakarta. Tujuannya silaturahmi sambil mencari-cari pekerjaan meskipun sebenarnya aku mempunyai masalah yang sangat pelik yang membuat aku stress. Aku Cuma dapat berdoa pada Tuhan serta berharap sedikit bantuan seikhlasnya dari saudara-saudaraku di Jakarta, dengan kemurahan hati mereka semoga dapat memberi sedikit solusi bagi masalah yang aku hadapi. Sekarang ini aku ingin kembali ke Serang.    
Saya tutup dengan membaca hamdallah.

(Jakarta, 22 Mei 2006 – NSH)


II. LATAR BELAKANG TEORI

A.   The Cognitive Phenomenological Theory of Stress and Coping

R  Stres harus dipahami sebagai proses kognitif yang bersifat subyektif.
R  Stres adalah proses kognitif yang terdiri atas :
§   Penilaian Primer (Primary Appraisal)
Individu melakukan penilaian terhadap stressor yang dihadapinya.
§   Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)
Individu melakukan asesmen terhadap sumber daya yang dimilikinya
§   Strategi Penanggulangan Stress (Coping Strategy)
Mengatasi ancaman yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada
§   Derajat Stres (Stress Level)
Tingkatan stres yang dialami oleh individu sebagai hasil dari strategi coping yang dilakukan.
    
 1. Penilaian Primer (Primary  Appraisal)

R  An evaluation of meaning and significance of a situation à individu melakukan penilaian terhadap situasi yang dihadapinya.
R  Depending on the individual and the situation, a problematic social event may be seen unharmful, while for others it may seen as being very stressful à individu menyimpulkan apakah situasi tersebut tidak bermakna, bermakna netral (irrelevant), bermakna positif-menantang (benign-positive) atau mengancam dirinya (stressful).
R  Can occur in relation to anything important to you : a friendship, a part of your body, your property, your finances, or your self-esteem. 
R  Primary appraisal is there a potential threat?
R  If stressful, evaluate further:
o  Harm-loss – amount of damage already caused.
o  Threat – expectation for future harm.
o  Challenge – opportunity to achieve growth, etc
2. Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)          

R  Secondary appraisal (cognitive appraisal) is an appraisal of personal resources and environmental resources to cope with loss, threat, and challenges à Individu mengevaluasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mengatasi atau menyesuaian diri terhadap situasi berbahaya yang dialaminya.
R  An evaluation of one’s coping resources prior to deciding how to deal with a stressful event à individu menetapkan strategi penanggulangan (coping strategy) yang dianggap efektif untuk mengatasi situasi yang dirasakan mengancam tersebut.
R  If they judge the situation to be within their control
R  They make an evaluation of available coping resources:
o  physical (health, energy, stamina)
o  social (support network)
o  psychological (skills, morale, self-esteem)
o  material (money, tools, equipment)
o  time.
R  They consider the options and decide how to deal with the stressor à Do I have resources or skills to handle event? Do I have the resources to deal effectively with this challenge or stressor?


B. Strategi Penanggulangan Stres (Coping Strategy)

1.    Strategi Coping Berfokus Problem (Problem Focused )
R  Bertujuan untuk menimbulkan perubahan baik secara fisik, mental maupun sosial terhadap hal yang menimbulkan masalah.
R  Berorientasi pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi.
R  Individu melakukan identifikasi terhadap masalah, mengumpulkan alternatif pemecahan masalah serta mempertimbangkan alternatif yang paling tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapinya dengan memperhitungkan kemampuan dirinya.

2. Strategi Coping Berfokus Emosi (Emotion Focused)
R  Individu tampil seolah-olah tidak ada bahaya yang mengancam yang dapat menimbulkan masalah.
R  Individu mengelabui diri sendiri dan mengalami penyimpangan penilaian terhadap realitas.
(Lazarus & Folkman,1984; Sumintardja, 1993)

3. Strategi Coping Berfokus Religius (Religious/Spiritual Focused)
R  Merupakan pikiran-pikiran, keyakinan dan kegiatan keagamaan dari individu untuk mengatasi situasi yang mengancam dirinya.
R  Berdasarkan pada persepsi individu bahwa Tuhan akan memberikan dukungan dan bimbingan pada saat mengalami kesulitan.
R  Pemecahan masalah dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan, individu mengatasi masalah dengan berdoa, zikir, melakukan ritual agama, meditasi, dll.
R  Dalam teori merupakan bagian dari emotion focused.
  

C. Derajat Stress (Stress Level)

R  The level of stress they feel is largely a function of :
o  whether resources are adequate to cope with the threat
o  How severely those resources will be taxed in the process.


III. ANALISIS KASUS

Analisis terhadap kasus ini ditinjau berdasarkan teori “stress dan strategi coping” dari Lazarus & Folkman ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No
Proses Stress
Fakta-Fakta Kondisi/Peristiwa/Kejadian
1.
Penilaian Primer
(Primary Appraisal)

Kondisi yang ‘irrelevant’ :
¥  Berasal dari keluarga ‘broken home’, karena ternyata ia beberapa kali memiliki kesempatan untuk meningkatkan keberhasilan usaha warung/jualannya di Ciamis dan Serang tetapi akhirnya gagal karena tidak mampu mempertahankannya.
¥  Ada orang yang tidak suka melihat usaha dagangnya maju. Anggapan ini sebaiknya tidak perlu ia kembangkan, karena dalam berbisnis pasti ada pesaing dan orang yang tidak suka dengan keberhasilan kita. Sebaiknya ia memusatkan perhatian pada apa saja kekurangan pada usaha dagangnya dan bagaimana upaya meningkatkannya.
Kondisi yang ‘good’ (benign-positive) :
¥  Perasaan sayang dan kerinduan mendalam kepada anak ketiga yang berusia 3 tahun, membuatnya terpacu untuk bersungguh-sungguh mencari pekerjaan.
Kondisi yang ‘stressful’ :
¥  Kondisi tidak bekerja (menganggur), tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya yang saat ini ditanggung oleh ibu mertuanya.
¥  Bulan Juli mendatang kontrak tahunan rumah harus segera dibayar. Listrik, PAM dan SPP anak sekolah sudah 2 bulan belum dibayar.
¥  Kondisi fisik yang kurang memadai (menderita sakit hernia) sehingga ia tidak sanggup bekerja berat (narik angkot, jadi kuli, dll) lagi.
¥  Biaya berobat/operasi untuk penyembuhan penyakit ‘hernia’ terlalu mahal baginya.
¥  Isteri dan ibu mertua yang kurang perhatian terhadap kondisinya yang sedang sakit.
¥  Hubungan suami-isteri yang sedang tidak harmonis – sudah 3 bulan pisah ranjang.


2.
Penilaian Sekunder
(Secondary Appraisal)

¥  Memiliki ketrampilan dan pengalaman sebagai supir angkot dan supir pribadi, meskipun saat ini belum dapat dimanfaatkan karena sakit hernia.
¥  Memiliki ibu mertua yang memiliki usaha warung nasi yang membantu seluruh kebutuhan hidup dan sekolah keluarganya (anak-anak dan isterinya) dan masih memberinya kesempatan untuk membantu menjaganya warungnya.
¥  Memiliki kepandaian dalam mengaji (membaca Al-Quran).
¥  Memiliki ketrampilan dalam menggambar dan bermain gitar.
¥  Mudah bergaul dilingkungannya, memiliki banyak teman dan senang menolong orang lain yang sedang kesulitan.
¥  Memiliki saudara-saudara yang masih mungkin memberikan bantuan materil maupun dukungan moril.
¥  Cukup taat beribadah dan memiliki kepasrahan diri kepada Allah serta yakin Allah akan menolongnya.

3.
Strategi Penanggulangan Stress
(Coping Strategy)

Problem Focused :
¥  Subyek terlebih dahulu hendaknya tetap melakukan upaya-upaya untuk menyembuhkan atau mengurangi penyakit ‘hernia’nya, misalnya dengan mencari informasi tentang bantuan pengobatan/operasi untuk keluarga miskin (Gakin), pengobatan tradisional yang dapat ‘dipertanggung jawabkan’, meminta bantuan keuangan kepada saudara-saudara yang mungkin membantu untuk pengobatan atau operasi hernianya, dan lainnya.
¥  Subyek untuk sementara waktu hendaknya lebih meningkatkan peranan dan kontribusinya dalam membantu usaha warung nasi ibu mertuanya yang selama ini mampu menghidupi keluarganya, misalnya dengan cara lebih teratur/disiplin, tidak boros (mengurangi merokok), menata warung agar lebih menarik perhatian pengunjung, dll. Dengan besarnya peranan subyek maka diharapkan ‘perhatian’ ibu mertua dan isterinya kepadanya menjadi lebih besar dan hal ini ‘mengobati’ perasaan tidak suka kepada mereka. 
¥  Subyek hendaknya tetap berusaha menjajagi kemungkinan-kemungkinan melakukan sesuatu yang dapat memberikannya penghasilan namun tidak menuntut tenaga atau fisik yang berat, misalnya sambil menjaga warung ia dapat berjualan benda/barang yang hanya butuh modal kecil dan resikonya juga kecil namun tetap ada keuntungannya meskipun juga kecil.   
Emotion Focused :
¥  Penghasilan yang diperoleh dari usaha-usaha yang dilakukan sendiri meskipun jumlahnya kecil akan dapat menumbuhkan kembali kepercayaan dan harga dirinya untuk tidak semakin jatuh terpuruk yang dapat menggiringnya untuk berpikiran lebih baik mati saja (bunuh diri).  
¥  Berkonsultasi dengan orang-orang yang berhasil setelah sebelumnya mengalami kegagalan-kegagalan, agar kondisi emosinya tetap terjaga dari perasaan putus asa dan dapat memunculkan perasaan optimis serta semangat baru untuk mencoba lagi.
¥  Subyek hendaknya tetap berusaha menghibur diri dengan jalan apapun, misalnya tetap mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di mushala/mesjid (merawat mushalla/mesjid, menjadi imam shalat, guru mengaji, dll), mengunjungi tetangga yang sakit, membantu mengurus tetangga yang meninggal, bahkan aktivitas-aktivitas lain yang memanfaatkan potensi kemahirannya dalam menggambar dan bermain gitar. Diharapkan hal-hal tersebut dapat mengurangi tingkat stress yang dialaminya.
Spiritual Focused :
¥  Apa-apa yang kita harapkan belum tentu kita gapai atau terwujud. Begitu pula sebaliknya. Apa-apa yang kita tak kehendaki bisa terjadi. Kita hanya manusia biasa yang cuma bisa berusaha dan berdoa untuk mewujudkan sesuatu yang kita kehendaki, akan tetapi Tuhan juga yang menentukan.
4.
Derajat Stress
(Stress Outcomes)
¥  Sakit ‘hernia’, yang apabila kambuh badan panas-dingin (meriang), badan pegal-pegal dan sakit kepala.
¥  Tidak bisa lagi bekerja berat (narik angkot dan sejenisnya).
¥  Pikiran yang kalut (ruwet), batin terguncang, menjerit dan menangis, serta perasaan putus asa (ingin mati saja), bila teringat ketidak mampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga hidup keluarganya.





DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Wilman. 2006. Bahan Kuliah Stress dan Strategi Coping, Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI Kekhususan PIO-NR.

Montgomery, Cameron. 1999. Student Teachers’ Stress and Social Problem Solving Skills. Faculté Saint-Jean University of Alberta.

http://www.garysturt.free-online.co.uk/theostre.htm. 28 Mei 2006. Gary Strurt. Theories of Stress.

http://web.fu-berlin.de/gesund/publicat/ehps_cd/health/stress.htm. 28 Mei 2006. Ralf Schwarzer. Stress and Coping Resources: Theory and Review.

http://www.stresstips.com. 28 Mei 2006. Wood and Wood. The World of Psychology:  Health and Stress (Chapter 14).

http://www........................ 28 Mei 2006. Ogden Health Psychology: Stress (Chapter 10, pp 233-250)

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More