I. PENDAHULUAN
Begitu dekatnya seks sehingga kini ia bersatu dengan representasinya.
Jean Baudrillard
Seduction, St Martin’s Press, 1990, hlm. 29.
Perbincangan mengenai media dan pornografi dalam konteks masyarakat kontemporer tidak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai bagaimana prinsip, konsep, pandangan dunia (world view), makna dan nilai-nilai yang berasal dari filsafat posmodernisme memberi bentuk pada media dan pornografi tersebut. Khususnya, bagaimana tubuh digunakan di dalam wacana posmodernisme, sehingga ia berkembang ke arah yang melampaui (hyper atau post) – melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu, dan agama.
Selain itu, perkembangan media – dan penggunaan tubuh di dalamnya – tidak bisa pula dilepaskan dari pengaruh perkembangan kapitalisme – sebagai sebuah ideologi ekonomi – kearah apa yang dapat disebut sebagai libidonomi (libidonomics), yaitu sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrim segala potensi libido sebagai komoditi, dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (added values). Ideologi libidonomi kapitalisme menjadikan tubuh – dan segala potensi libido-nya – sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan kapital.
Dapat dilihat disini, bahwa ada sebuah efek sinergis yang kuat antara kapitalisme sebagai sistem ekonomi politik dan posmodernisme sebagai sebuah sistem pemikiran budaya, yang di dalamnya tubuh (kesempurnaan, kecantikannya, gairahnya) menjadi sebuah elemen yang sentral dan raison d’etre dalam produksi benda-benda komoditi. Tubuh tidak saja dijadikan sebagai komoditi, akan tetapi juga sebagai metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya.
Tubuh – khususnya perempuan – di dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value) – pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) – gadis model, gadis peraga, hostess; dan kini juga nilai tandanya (sign value) – erotic magazine, erotic art, erotic video, erotic photograpy, erotic film, erotic vcd; majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porn. Eksplorasi tubuh tersebut berlangsung mengikuti model-model pembiakan secara cepat (proliferation) atau pelipatgandaan secara kilat (multiplication), baik dalam cara, bentuk, varian, teknik, maupun medianya.
II. PORNOGRAFI DAN PORNOKITCSH
Di dalam sebuah iklan televisi untuk produk kereta sorong harco, pelawak Doyok ditampilkan sebagai bintang iklan. Ide dasar iklan tersebut adalah menggambarkan kemudahan, kenyamanan dan kekuatan dalam penggunaan kereta sorong yang diiklankan, dengan mengatakan “…tinggal sorong!” setiap kali Doyok menyorong kereta tersebut. Akan tetapi, pada adegan terakhir iklan itu, Doyok tidak lagi ditampilkan menyorong kereta sorong, akan tetapi menyorong seorang perempuan seksi, sambil tetap berkata ”…tinggal sorong!”
Ada sebuah prinsip metafora (metaphor) yang beroperasi didalam iklan ini, yaitu “menyorong kereta sorong” seperti menyorong seorang perempuan seksi. Akan tetapi, apa konteks metafora tersebut. Bila hanya untuk sekedar menimbulkan efek sensualitas dan rangsangan seksual, apakah lantas iklan ini dapat dikatakan bermuatan pornografi?
Majalah Kosmopolitan Edisi Juni 2001 menampilkan sebagai gadis sampul Vanessa Mae, seorang ratu biola dunia. Pada sampul tersebut Vanessa tampil dalam pose berdiri dengan pakaian yang sangat mini. Ia menggunakan rok super bikini, memakai baju yang terbuat dari semacam embroidery yang sangat jarang, sehingga payudaranya yang tidak ditutupi BH tampak secara transparan. Ada semacam permainan terlihat/tak terlihat pada setting pakaian, sehingga payudara tidak tampak secara keseluruhan. Majalah Popular cenderung menampilkan gaya tampilan yang bahkan lebih berani, misalnya penampilan Sofia Latjuba pada salah satu edisinya, yang telah menimbulkan kontroversi didalam masyarakat. Lalu, bagaimana sampul-sampul majalah ini harus dinilai. Apakah ia sebuah seni? Atau pornografi? Kalau sebuah seni, lantas seni semacam apakah yang ditampilkan?
Tabloid cenderung mempunyai penampilan yang lebih terbuka. Tabloid Bos edisi April 2002, misalnya, sampul depannya menampilkan seorang gadis model dengan pose duduk di atas ranjang, mengenakan celana dalam tipis dan transparan, tetapi tidak mengenakan BH sehingga payudaranya terlihat, meskipun teknik fotografi memang mampu menyembunyikan bagian detil dari payudara tersebut. Selain itu, pada halaman tengah tabloid ditampilkan seorang perempuan model dengan pose berdiri di dalam air. Tubuh perempuan tersebut hanya ditutupi oleh selembar kain transparan berbentuk huruf V, sehingga menutupi sebagian tubuhnya bagian depan. Akan tetapi, oleh karena kain tersebut tembus pandang, sesungguhnya tidak ada lagi yang menutup tubuh talanjang tersebut dari pandangan. Tabloid sejenis, seperti Pop, Lipstik, Blitz, Hot atau Bollywood mempunyai tampilan cover dan isi yang kurang lebih sama. Khusus untuk tabloid Pop digunakan judul-judul dalam ukuran besar, seperti “Liukan Erotik”, ”Percikan Gairah”, atau “Sintal dan Menantang”, yang menunjukan kuatnya muatan erotisme pada tabloid ini.
Pemberitaan media seringkali juga dapat terjebak dalam perangkat eksplorasi tubuh. Semarak, sebuah harian di Sumatera, misalnya, melaporkan sebuah peristiwa perkosaan, dengan menyajikan tulisan berita sebagai berikut:
“Di tengah rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas dengan nafsu. Tidak hanya sampai di situ, tangannya yang lain menelusup masuk ke celana dalam gadis itu. Kemudian telunjuk kanan pria dewasa ini masuk menjelajah bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis.”
Lantas, apa perbedaan antara berita jurnalistik ini dengan sebuah novel porno, seperti Valentine? Di dalam novel porno, yang diutamakan bukanlah nilai sastra yang terkandung didalamnya, seperti komposisi, narasi, diksi, atau gaya, melainkan kemampuannya membangkitkan rangsangan dan fantasi-fantasi seksual, sehingga ia cenderung tidak disebut karya sastra. Bila di dalam sebuah pemberitaan pers, nilai rangsangan seksual lebih menonjol ketimbang nilai informasi, dapatkah tulisan berita ini di kategorikan sebagai sebuah pornografi pemberitaan?
Dari beberapa contoh kasus diatas terlihat, bahwa pornografi, memang sebuah istilah yang mempunyai pengertian yang sangat tidak jelas batas-batasnya. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, pornografi didefinisikan sebagai bentuk
representasi (dalam literatur, film, video, drama, seni rupa, dan sebagainya). yang tujuannya adalah untuk menghasilkan kepuasan seksual.
Di pihak lain, pornografi didefinisikan sebagai
penggunaan representasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video, film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai obyek seksual laki-laki.
Jelas ada perbedaan penekanan pada dua definisi tersebut. Yang satu definisi dalam kacamata umum, yang kedua dalam kacamata feminis.
Terlepas dari problem di atas, yang jelas, berdasarkan teori psikoanalisis yang dikembangkan Freud dan Lacan, di dalam pornografi, citraan (image) dan gambar mempunyai peran yang sangat besar dalam menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual. Pentingnya citraan dan gambar ini diperlihatkan oleh kecenderungan laki-laki atau perempuan untuk mengembangkan barbagai bentuk fantasi ketika melihat sebuah gambar porno (pornografi). Sebuah tulisan, gambar, foto, atau ilustrasi di dalam bebagai bentuk media dapat menimbulkan sebuah rangsangan dan kepuasan seksual dari cara ia ditampilkan – bentuk, pose, posisi, sikap, ekspresi.
Penampilan gambar, foto, ilustrasi, atau penggunaan kata-kata (diksi) tertentu di dalam media. Disadari atau tidak, dapat mengandung unsur pornografi disebabkan rendahnya standar atau selera (taste) medianya. Pemilihan gambar (image) atau kata-kata (text) sering menjebak media pada sifat vulgaritas bahasa, yang berakibat pada pendangkalan estetik dan informasi. Salah satu bentuk vulgaritas dan pendangkalan dalam bahasa adalah kitsch. Kitsch dianggap sebagai satu bentuk selera rendah (bad taste) atau sampah artistic, disebabkan rendahnya standar estetik yang digunakan, sehingga yang menonjol di dalamnya bukanlah nilai estetik, melainkan nilai provokasi (erotisme, sensualitas, seksualitas). Pornografi dianggap merupakan bagian dari selera rendah tersebut, disebabkan secara etimologis istilah porno yang dalam bahasa Yunani berarti prostitusi pada tingkatnya yang paling rendah, inheren di dalamnya pengertian mengenai selera rendah, dan
…sebagai pendangkalan kualitas tanda (sign)… sebagai bentuk pemujaan detail, sebagai bombardir detai-detail.”
Pornografi yang terperangkap di dalam kitsch disebut porno-kitsch. Berbeda dari pornografi pada umumnya, pornokitsch lebih dicirikan oleh penggunaan gambar atau teks berkonotasi seksualitas, akan tetapi dengan kualitas yang murahan atau dangkal. Sifat selera rendah, murahan atau dangkal tersebut terlihat pada cara-cara penekanan unsur-unsur erotis dan sensualitas ketimbang pertimbangan estetis yang sublim, semata sebagai cara untuk menimbulkan efek provokasi, kejutan, dan kesenangan visual yang segera dan rendah. Seringkali pihak media berdalih, bahwa gambar yang ditampilkannya bukanlah sebuah bentuk pornografi, melainkan sebuah bentuk seni. Lalu, kategori seni seperti apa? Padahal, seni mempunyai batasan dan kriterianya sendiri yang jelas, mencakup kualitas, standar, atau mutu tertentu. Seni cenderung dibedakan – bahkan dipertentangkan – dengan kitsch dan pornokitsch, yang dianggap bukan seni, melainkan parasit seni, disebabkan sifat rendahnya, termasuk kecenderungannya menampilkan nafsu rendah dan sensualitas.
Kelompok Frankfurt School, seperti T.W Adorno, Max Horkheimer, dan W.F Haug menekankan bagaimana sensualitas dan sifat nafsu rendah menjadi bagian utama dari apa yang mereka sebut industri budaya (culture industry), yaitu sebuah kebudayaan yang selalu berproduksi di dalam domain sensualitas. Berbagai potensi sensualitas diproduksi sebagai bagian dari industri budaya. Penggunaan efek-efek sensualitas tersebut merupakan bagian dari penciptaan ilusi, manipulasi, sebagai cara untuk mendominasi selera kultural masyarakat, sebagai sebuah kendaraan dalam menciptakan keterpesonaan dan histeria massa . Haug menggunakan istilah teknokrasi sensualitas (technocracy of sensuality), untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai budaya–misalnya niali estetik–ditopengi oleh nilai-nilai sensualitas, glamour, dan erotisme. Yang terjadi adalah semacam erotisisasi kebudayaan dan sensualitas otak (gehirnsinnlichkeit), yaitu disaratinya otak dan kebudayaan oleh berbagai bentuk pikiran sensual.
III. PORNOGRAFI DALAM WAJAH POSMODERNISME
Perkembangan posmodernisme sebagai sebuah gerakan sosial budaya di Barat akhir-akhir ini, telah membuka berbagai cakrawala dan dimensi baru dalam perbincangan mengenai kebudayaan, khususnya mengenai media dan pornografi di dalamnya. Berbagai nilai-nilai yang dibawa oleh posmodernisme, telah membuka ruang yang selebar-lebarnya bagi perkembangan, pembiakan, dan produksi berbagai bentuk hasrat lewat pornografi.
Meskipun demikian, posmodernisme bukanlah sebuah kecenderungan yang menawarkan ideologi tunggal dan nilai-nilai yang homogen. Ada berbagai kecenderungan posmodernisme. Namun, dua kecenderungan besar dapat dikemukakan, yaitu 1) posmodernisme dekonstruktif (deconstructive postmodernism) dan 2) posmodernisme rekonstruktif (reconstructive postmodernism). Yang pertama lebih menekankan pada penentangan akan segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatasan (hukum, aturan, agama) demi untuk memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Sementara, yang kedua lebih menekankan pada penghargaan secara positif akan keanekaragaman, dialog, heterogentitas, dan pluralitas.
Adalah pormodernisme dekonstruktif yang mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat, yang telah merubah secara mendasar bebagai logika yang membentuk kehidupan sosial dan budaya. Pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh Foucault, Lyotard, Derrida , Deleuze & Guattari, misalnya, menawarkan logika-logika pembebasan tubuh (emancipation of body) atau pembebasan hasrat (liberation of desire) dari berbagai kekangan dan pembatasannya.
Setidak-tidaknya ada tiga relasi di dalam wacana pormodernisme dekonstruktif yang melibatkan eksploitasi tubuh,yaitu: 1) relasi tubuh (body), yaitu bagaimana tubuh (secara fisik) digunakan di dalam berbagai relasi sosial, ekonomi, komunikasi, dan kebudayaan; 2) relasi tanda tubuh (body sign), yaitu bagaimana tubuh dieksploitasi sebagai tanda-tanda di dalam berbagai media, seperti Koran, majalah, tabloid, video, vcd, film, televisi, komputer; dan 3) relasi hasrat (desire), yaitu bagaimana hasrat menjadi sebuah bentuk perjuangan, khususnya bagi pembebasan, pembiakan, dan penyalurannya.
Para pemikir posmodernisme dekonstruktif mengembangkan wacana tubuh dan hasrat yang baru, dalam rangka mendobrak berbagai benteng, tembok, dan tapal batas, yang selama ini membatasi artikulasi dan pelepasan hasrat; menghancurkan berbagai bentuk kekuasaan (power), baik itu kekuasaan dalam keluarga, negara dan agama; mencerai-beraikan otoritas atau hegemoni yang selama ini membatasi eksploitasi tubuh, dengan berbagai potensi dan peluang eksplorasinya.
Michel Foucault di dalam berbagai bukunya mengembangkan konsep-konsep baru relasi kekuasaan di seputar tubuh serta penggunaannya secara sosial. Di dalam History of Sexuality, misalnya, Foucault melihat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hasrat, tubuh, dan kekuasaan. Ada dua bentuk kekuasaan yang beroperasi di seputar wacana tubuh. Pertama, kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak-tanduk, mengadakan pembatasan, pelarangan, dan pengendalian terhadap tubuh (hukum, tabu, undang-undang). Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh, yaitu berupa hasrat dan potensi libidonya. Kekuasaan, dari dalam tubuh ini harus menentang kekuasaan atas tubuh, lewat sebuah revolusi tubuh, sehingga dapat diciptakan ruang bagi perkembangbiakan (proliferation) dan pelipatgandaan (multiplicity) secara bebas discourse seksual, yang terbebas dari setiap bentuk dominasi kekuasaan.
Pembebasan hasrat dan revolusi tubuh harus menemukan berbagai kanal-kanal pelepasannya. Kapitalisme–lewat budaya komoditinya–adalah kanal utama bagi pelepasan hasrat tersebut, dengan memberi peluang kepada setiap orang untuk menggali setiap potensi hasrat dan energi libidonya sebagai komoditi. Hal ini dimungkinkan, oleh karena sebagai sebuah sistem ekonomi politik, kapitalisme itu sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh J.F. Lyotard di dalam libidinal economy, telah mengalami semacam transformasi ke arah kecenderungan baru ekonomi libido (libidinal economy), yang di dalamnya diciptakan ruang bagi pluralitas discourse pelepasan hasrat, sehingga setiap orang harus dapat mengeksplorasi dan memasarkan setiap rangsangan libido, untuk mendapat keuntungan ekonomi yang maksimal darinya.
Di dalam sistem ekonomi libido, sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, sebuah paha yang diekspos dianggap bukan sebagai bentuk degradasi moral, melainkan sebuah bentuk nilai jual dan currency. Untuk itu, Lyotard berpendapat, bahwa kebudayaan harus bersifat afirmatif (affirmative) dan permisif (permissive), sehingga dengan cara demikianlah manusia dapat memperoleh kesenangan dan jouissance secara maksimal. Siapa saja dapat mewujudkan fantasi–fantasinya secara demokratis lewat tubuhnya, dengan mengeksplorasinya sebagai alat tukar libido (libidinal currency) di dalam sebuah sistem pertukaran hasrat (desiring axchange).
Tubuh hanya akan bernilai ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat berbagai bahasa tanda tubuh (bodily signs), yang menyertai penawaran sebuah komoditi – mobil, lemari es, cokelat, sepatu. Di dalam sistem libidonomi kapitalisme, semakin tinggi daya emosi, gairah, dan pesona (fetishism) yang dihasilkan oleh sebatang tubuh, maka semakin tinggi nilai ekonominya. Semakin seksi, semakin terkenal, semakin top, atau semakin berani seorang cover girl yang ditampilkan pada sebuah cover majalah, misalnya, maka ia akan mempunyai nilai tukar (currency) yang tinggi pula di dalam pasar libido, yang kemudian akan menentukan harga libidonya secara ekonomis.
Ketika tubuh dibebaskan dari berbagai kekangan, represi, dan pembatasan; dari berbagai kode, konvensi dan tabu, maka yang tercipta adalah tubuh yang bersifat material, imanen (immanent), dan sekular, sebagaimana sifat libidonomi kapitalisme itu sendiri. Tubuh yang tanpa kendali otoritas kekuasaan (keluarga, negara, agama) – dan hanya dikendalikan oleh prinsip capital – membuka ruang yang lebar bagi budaya ketelanjangan (transparency), yaitu sebuah budaya tubuh yang tanpa rahasia (obscene) dan tanpa tabir (expose), yang dapat dieksplorasi segala potensi dan kekuatan libidonya untuk kepentingan pembiakan kapital. Teknik-teknik close up atau zoom anatomy yang ditawarkan oleh teknologi media, sebagaimana yang dikatakan Jean Baudrillard di dalam ‘The Ecliptic of Sex’, telah memungkinkan bagi setiap orang untuk melihat gambar-gambar detil anatomi atau organ tubuh dalam skala diperbesar, yang menciptakan semacam pornografi yang melampaui (hyper pornography).
Dengan digiringnya tubuh kearah sebuah proses objektivitas ekstrim, maka tubuh ditanggalkan dari berbagai batasan moral, batasan sosial, batasan spiritual. Tubuh kini tidak memerlukan lagi nilai-nilai subyektivitas, seperti privacy, rahasia, rasa malu, rasa risih, atau rasa berdosa. Selain itu, batas-batas antara ruang pribadi (private space) yang selama ini membatasi penggunaan tubuh, kini telah didekonstruksi. Segala sesuatu yang selama ini dianggap sebagai domain private (aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks) kini dipertontonkan sebagai domain publik, dan akhirnya menjadi milik public – inilah budaya ketelanjangan (obscene culture). Batas mengenai apa yang boleh/tidak boleh ditampilkan, dipampangkan, dipamerkan, dipertontonkan, disuguhkan, dipasarkan, dijual, kini telah didekonstruksi di dalam wacana tubuh masyarakat cabul – society of the obscene.
Hanya dengan membebaskan tubuh dan hasrat dari setiap kekangan dan pembatasannya, maka dapat diciptakan apa yang disebut Deleuze & Guattari sebagai revolusi hasrat (desiring revolution). Segala bentuk normalitas (normality) harus dilawan, karena dianggap sebagai penindasan atas tubuh dan pengekangan akan hasrat. Sebaliknya, segala sesuatu yang dianggap oleh konvensi sosial (yang represif) sebagai menyimpang (deviant), tak normal (abnormal) atau gila (schizophrenia) harus dilihat sebagai sesuatu yang kreatif dan produktif. Revolusi hasrat adalah sebuah bentuk penolakan terhadap berbagai aturan dan konvensi sosial; sebuah cara yang didalamnya manusia dilihat sebagai makhluk plural
…yang dapat mengekspresikan hasrat mereka, kesenangan mereka, ekstasi mereka, perasaan mereka, tanpa harus bergantung…pada sistem kekuasaan manapun.
Lewat pembebasan tubuh dan hasrat dari setiap kekangan, maka yang tercipta adalah apa yang disebut Deleuze & Guattari medan deteritorialisasi (deteritorialization), yaitu sebuah medan kehidupan sosial, yang di dalamnya seseorang tidak pernah berhenti pada sebuah teritorial (sosial, spiritual, seksual, identitas, budaya) yang tetap dan konsisten. Tubuh dan hasrat harus hidup di dalam semacam ruang nomad, yang di dalamnya berlangsung sebuah prinsip pertumbuhan (hasrta, tubuh, kepuasan) yang disebut nomadologi (nomadology), yaitu sebuah proses tanpa henti dalam perubahan, perpindahan, pembiakan, pelipatgandaan, perjalanan melampaui batas terjauh (moral, sosial, spiritual). Dengan demikian, tidak ada satupun gejolak hasrat atau eksploitasi tubuh yang harus dilarang (affirmative), selama semuanya dapat menghasilkan kepuasan (jouissance). Tubuh posmodern bersifat anti-aturan keluarga (orphan), antikonvensi sosial (nomad) dan antiwahyu ketuhanan (atheist), sifat-sifat yang disebut Richard Harland sebagai antisosial, yaitu tidak bertanggung jawab secara sosial.
Kebebasan, ekspresi total, dan pembebasan hasrat yang ditawarkan oleh pormodernisme dekonstruktif mendapatkan respons yang antusias dari berbagai kalangan: anak muda (youth culture) menggunakannya sebagai ruang untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk kekangan (seks bebas, pesta seks ABG, seks sekolahan); para pengusaha (kapitalis) menggunakannya untuk meningkatkan daya tarik komoditi (gadis iklan, foto model, gadis pajangan); media menggunakannya sebagai cara untuk meningkatkan daya tarik dan rating (seperti Top, Bos, Hot, Popular, Metropolitan, Mistery); industri hiburan menggunakan peluang untuk menciptakan perbedaan suguhan tontonan (lawak, cheersleader, hostess). Disadari atau tidak, semuanya mengusung nilai-nilai yang dibawa oleh wacana pormodernisme dekonstruktif, yang justru memberi ruang yang luas bagi pembiakan pornografi.
Sementara itu, berbagai investigasi yang dilakukan terhadap perilaku seks masyarakat di Indonesia dan pandangan mereka mengenai norma seksualitas, memperlihatkan pula berbagai pengaruh nilai-nilai pormodernisme dekonstruktif ini di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahwa sesungguhnya ada berbagai dimensi yang telah hilang di dalam masyarakat: dimensi rahasia (secret), dimensi rasa malu (shame), dimensi rasa berdosa (sinful), dimensi spiritualitas. Sementara, ada dimensi-dimensi baru yang tumbuh subur: dimensi ketelanjangan (obscenity), dimensi ketidakacuhan (indifference), dimensi sekularitas, dan dimensi materialitas, yang semuanya berakar dari nilai-nilai yang dibawa oleh wacana pormodernisme dekonstruktif.
IV. POSPORNOGRAFI DAN HIPERSEMIOTISASI TUBUH
Di dalam wacana postmodern dekonstruktif pembongkaran terhadap konvensi-konvensi sosial tentang tubuh tidak hanya berlangsung pada tingkat fisik dan relasi sosial, melainkan juga pada tingkat tanda atau semiotika. Posmodernisme dekonstruktif mendekonstrusi aturan, norma, tabu, kebiasaan, dan kode-kode pada tingkat pertandaan (signification). Kode-kode sosial tentang tubuh dan bahasa tubuh (body language) dibiarkan dalam kondisi mencair, dalam rangka membuka ruang bagi sebuah permainan bebas tanda-tanda tentang tubuh (free play of bodily signs).
Di dalam ajang permainan bebas tanda tersebut, tubuh diproduksi sebagai sebuah rangkaian teks (text), yaitu kumpulan tanda-tanda, yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotik tertentu (code), yang menghasilkan berbagai makna atau efek makna (meaning effect) serta perbedaan (difference) yang diperlukan dalam kapitalisme. Tubuh didekonstruksi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut, payudara, penis, bahu, tangan, jari, kuku, perut, pinggul, betis, paha, kaki; pakaian, aksesori, perhiasan) yang masing-masing menjadi sub-sub signifier, dan yang secara bersama-sama membentuk signifier, yang menghasilkan makna yang tidak konvensional: ambigu, kontroversial, paradoks, ekletik, ironi.
Apa yang ingin dicari dari wacana semiotika tubuh atau bahasa tubuh adalah apa yang disebut Roland Barthes di dalam The Pleasure of the Text, sebagai kepuasan teks. Artinya, dengan dibebaskannya tubuh dari berbagai represi dan pembatasan, dari berbagai aturan, norma, dan tabu-tabu, serta dengan dilepaskannya berbagai katup potensi hasratnya, maka dari sanalah kepuasan sempurna (jouissance) dapat diperoleh. Kepuasan menulis, kepuasan membaca, kepuasan melihat, kepuasan menonton – termasuk pornografi – adalah bentuk-bentuk kepuasan yang ingin dikejar dalam memproduksi sebuah teks atau karya postmodern (sebuah gambar, tontonan, narasi, cerita, film).
Dengan dibebaskannya tubuh dari berbagai pembatasan, maka ia dapat digunakan sebagai bahan baku di dalam sistem pertukaran tanda (sign exchange), dalam rangka mengembangkan nilai tanda (sign value) di dalam sistem libidonomi kapitalisme. Upaya besar-besaran dilakukan di dalam kapitalisme untuk menggali kekuatan-kekuatan (power) yang berasal dari tubuh ini, khususnya kekuatannya sebagai tanda dan bahasa tubuh (body sign), atau kekuatan yang berasal dari fetisisme tubuh (body fetishism). Tubuh dimuati dengan berbagai bentuk pesona (fetish) dan makna–natural, liar, tunduk, metropolis, urban, erotis, sensual, teeny, freshy, granny, intelek, dan sebagainya – dan menjadi objek dari berbagai bentuk pemujaan (fetishism) di dalam masyarakat kapitalis.
Berbagai oksplorasi bahasa dan semiotika tubuh menjadi mesin pendorong dari keberlangsungan kapitalisme: fashion show, peep show, striptease, video erotis, film erotis, body art, Kama Sutra, adult tv, night surf, cyber-sex, erotic film, erotic site. Di dalam mesin-mesin libido (libidinal machine) ini, berbagai potensi dan kemungkinan semiotika tubuh dieksplorasi secara tak terbatas, dengan mendekonstrusiberbagai kode, stereotip, dan konotasi yang konvensional. Berbagai kode baru dikembangkan, melampaui kode-kode yang konvensional: “gemuk itu juga sensual”, “tua itu juga erotis”, dan sebagainya.
Jean Baudrillard mengemukakan di dalam Seduction, bahwa kekuatan tubuh –khususnya tubuh perempuan – di dalam masyarakat kapitalis terletak pada kekuatan rayuan yang dimilikinya, yaitu kemampuannya untuk mengeksplorasi secara bebas tanda-tanda dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan pesona. Dunia rayuan (seduction) kapitalisme adalah sebuah dunia “permainan, tantangan, duel, strategi penampilan”, yang di dalamnya tubuh dan eksploitasi nilai-nilai tandanya mempunyai peran yang sangat sentral. Sistem rayuan kapitalisme bertumpu pada penampakan (appearance) tubuh semata, dengan merayakan permainan tanda dari topeng-topeng visual.
Tubuh – terutama perempuan – dengan segala potensi libido dan potensi tandanya, dijadikan sebagai alat tukar (currency) di dalam sebuah proses pertukaran kapitalisme (exchange), lewat nilai semiotika yang dapat ditawarkannya. Dalam konteks semiotika, sebuah tanda mempunyai nilai berdasarkan kemampuannya menghasilkan makna (meaning). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in general linguistics (1983), “nilai sebuah kata terutama atau pertama-tama dinilai dari kemampuannya merepresentasikan gagasan, ide, atau konsep tertentu. Nilai sebatang tubuh sebagai tanda terletak pada kemampuannya menawarkan makna, ide, konsep, atau tema tertentu: sensualitas, erotika, kegairahan, kemolekan, keseksian, kesegaran, kemudahan, keperawanan, kecantikan.
Media (iklan, film, televisi internet), seringkali mengeksploitasi tubuh sebagai tanda dalam rangka mencari nilai pembedaan (differentiation) tanda tersebut. Citra, gagasan, tema, atau perasaan yang berkaitan dengan sebatang tubuh yang telah mempunyai makna di dalam sebuah masyarakat (seksualitas, erotika, status, prestise) dipindahkan kedalam sistem media, sehingga membedakannya (diferensi) dari media lain, yang menggunakan tubuh yang lain. Dalam mengeksploitasi tubuh sebagai tanda, ada berbagai mekanisme yang digunakan media, sehingga aktor-aktor yang berperan didalamnya dapat dieksploitasi segala potensi tandanya. Nilai tanda tubuh (perempuan) sebagai komoditi, dapat dilihat melalui berbagai aspek berikut, yang dikonstruksi di dalam media:
Pertama, tampilan tubuh (body appearance). Seringkali media menekankan aspek umur, yaitu kemudaan tubuh yang ditampilkan, khususnya pada perempuan. Biasanya ditampilkan perempuan berumur antara 18 dan 35 tahun, yang secara visual mempunyai nilai sensualitas yang relatif tinggi. Meskipun, ada kecenderungan kini untuk menampilkan pula perempuan-perempuan berumur, dengan konsep tua itu juga sensual. Sex appeal adalah unsur lain yang sering dijadikan sebagai kekuatan daya tarik tampilan. Selain itu, bentuk tubuh – yang seksi, sensual, ramping, tinggi – merupakan modal dalam menciptakan makna sensualitas. Meskipun ada kecenderungan akhir-akhir ini untuk mengatakan, bahwa “gemuk itu juga sensual”.
Kedua, perilaku (manner) merupakan aspek lain yang menentukan relasi tanda tubuh (body sign) di dalam media, yang dapat dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya dan kecenderungannya; dari pose, dengan berbagai variasinya, seperti menantang, mempertontonkan, merayu, menggoda, mengajak, ekstasi, memperlihatkan gairah, dan sebagainya; dari pakaian, dengan berbagai gaya, ukuran dan maknanya, yang mampu memperlihatkan posisi sosial tubuh di dalam masyarakat–penghibur, eksibisionis, perayu, penantang.
Ketiga, aktivitas tubuh dapat menjadi penanda bagi posisi sosialnya di dalam media. Di antara aktivitas tersebut adalah: sentuhan (touch), yang dapat memperlihatkan apakah sebatang tubuh itu pasif, aktif, lemah, berkuasa, dan sebagainya. Tangan perempuan yang menutup bagian dadanya, (masih) menunjukan sikap malu secara sosial; perempuan yang mengelus tubuhnya sendiri menunjukan sikap narsisisme; atau perempuan yang mempertontonkan sensualitas tubuhnya, menunjukan kecenderungan eksibisionisme.
Ekspresi, perilaku, dan aktivitas tubuh tersebut di atas merupakan elemen-elemen utama yang dapat menciptakan berbagai tanda tubuh (body sign), yang dieksploitasi sebagai komoditi (commodity signs) di dalam berbagai media kapitalistik, dalam rangka menimbulkan daya tarik media:
Pertama, tanda kecabulan (obscene sign). Kecabulan di dalam media tampak lewat tindak seksual atau simulasinya yang ditampilkan baik secara langsung maupun tersamar–memegang, mengelus, meraba, meremas, mendekap, memangku. Tindakan ini secara sosial mengganggu orang-orang yang melihat, dengan alasan tabu, larangan, etis, moral, norma, agama, dan sebagainya. tabloid-tabloid seperti Hot, Bos, Pop, Blitz, Lipstik atau Bollywood secara intens mengeksploitasi tanda-tanda kecabulan ini pada sampul, iklan, poster, maupun isi medianya.
Kedua, overexposed sign, yaitu cara-cara mengekspose tubuh dan organ-organ tubuh (paha, betis, payudara, kelamin) sebagai domain tontonan publik, dengan cara memasuki dan menjajah apa yang selama ini disebut sebagai domain private di dalam sebuah kebudayaan. Penampilan perempuan model dengan payudara dan pakaian dalam tipis pada cover tabloid Bos, serta penampilan perempuan model dengan pakaian minim dan transparan pada halaman tengah majalah yang sama, menunjukan kecenderungan overexposed sign semacam ini.
Ketiga, tanda seksual (sexual sign), yaitu tanda-tanda yang mengarah pada tindakan hubungan seksual. Hubungan seksual baik secara tersamar (misalnya, dengan teknik blurring, raster, pengaburan gambar, ditutupi teks) atau secara eksplisit seringkali ditampilkan oleh hampir semua tabloid di atas, oleh majalah-majalah seperti Metropolitan dan Popular, atau oleh media elektronik lainnya. Iklan-iklan mengenai obat kuat, pakaian dalam, kondom, call girl, massage, atau buku Kama Sutra, yang bertebaran di berbagai tabloid seringkali disertai dengan gambar-gambar yang mengandung tanda seksual.
V. POSPORNOGRAFI DAN WAJAH MASA DEPAN KEBUDAYAAN
Berdasarkan analisis mengenai pornografi pada media di atas, tampak sebuah keterkaitan (ketergantungan) yang jelas antara media (media porno), ekonomi politik (libidonomi kapitalisme) dan filsafat kebudayaan (posmodernisme dekonstruktif). Kecenderungan kapitalisme libido dan filsafat posmodernisme dekonstruktif membuka ruang yang sangat lebar bagi perkembangan dan pembiakan berbagai bentuk pornografi, erotisme, dan sensualitas di dalam berbagai media kapitalistik.
Sikap posmodernisme dekonstruktif terhadap tubuh, adalah menghancurkan berbagai pembatasan dalam penggunaan tubuh (promiscuity); menanggalkan berbagai selubung penutupnya (ketelanjangan); mengekspos berbagai rahasianya (kecabulan); merayakan dan memuja berbagai organ dan komponen tandanya (fetishism); memberikan ruang bagi berbagai ekspresinya yang bebas; menyediakan medan bagi permainan bebas tubuh dan representasi tubuh. Kapitalisme menyediakan ruang bagi realisasi nilai-nilai posmodernisme dekonstruktif di dalam bebagai komoditi. Singkatnya, kapitalisme dan posmodernisme dekonstruktif menciptakan ruang yang terbuka luas bagi pembiakan budaya porno (porn culture).
Di masa depan iklim persaingan ekonomi yang dibentuk di dalam sistem kapitalisme global akan semakin ketat; pergantian produk, gaya , dan fashion akan semakin cepat; eksploitasi tanda dan makna akan semakin membiak; tuntutan perbedaan dan diferensi akan semakin tajam. Di dalam iklim semacam itu, eksploitasi tubuh – beserta potensi hasrat dan nilai libidonya – akan semakin meluas, sehingga tampaknya akan tercipta sebuah masa depan yang lebih afirmatif, permisif, telanjang, porno, cabul, dan kontradiktif. Sehingga, akan terbentuk pula kondisi yang mengarah pada pembiasaan (naturalization) terhadap elemen-elemen pornografi.
Kondisi tersebut, memang di satu pihak akan menciptakan berbagai gairah baru bagi berbagai kalangan di masa depan, yang merasa dapat melepaskan berbagai hasratnya yang sebelumnya tak tersalurkan: anak muda, media, pengusaha. Akan tetapi, di pihak lain, ia telah menimbulkan berbagai kegamangan, kekhawatiran, dan ketidakpastian pada kelompok-kelompok masyarakat lain, khususnya kekhawatiran akan terciptanya sebuah masa depan yang tanpa norma (anomie), yang telanjang (obscene), yang anarkis, dan yang apapun boleh (anything goes).
Lalu, bagaimanakah kita harus menghadapi berbagai kekhawatiran dan ketidakpastian yang menghantui masyarakat menyangkut media dan pornografi ini di masa depan? Memang, persoalan media dan pornografi adalah persoalan yang sangat dilematis, khususnya dilema antara kebebasan/moralitas, pertumbuhan/tradisi, kreativitas/norma. Sementara itu, di masa depan peran Negara tidak lagi bisa diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk media (internet, televisi global, pengintaian satelit). Banyak kedaulatan Negara yang hilang (lost sovereignity) akibat perkembangan arus globalisasi ekonomi, informasi, dan budaya. Namun demikian, berbagai upaya komprehensif di masa depan dapat dilakukan untuk menanggulangi pornografi, dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Pertama, pada tingkat filosofi media, semangat antikeluarga, antikonvensi sosial, dan antiwahyu ketuhanan yang dibawa oleh wacana media posmodernisme dekonstruktif harus dihadapi, dengan mengembangkan semacam filosofi tanding (counter philosophy). Justru di masa depan media harus berperan besar dalam menghidupkan kembali filosofi dan pemikiran-pemikiran tentang peran keluarga, peran masyarakat (komunitas) serta peran agama dalam menciptakan berbagai karisma-karisma baru, yang dapat menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih produktif, kreatif, dan bertanggung jawab.
Kedua, pada tingkat sosiologi media, peran komunitas harus lebih dikembangkan dalam rangka menghambat pembiakan pornografi dalam media. Tekanan-tekanan komunitas diharapkan lebih berperan dalam menciptakan sebuah budaya tanding (counter culture), yaitu dengan menghidupkan bentuk-bentuk kebudayaan yang menarik dan menggerakkan. Dalam hal ini, diperlukan semacam strange attractor, yaitu sebuah kekuatan penarik asing atau karisma (charisma) yang mampu menggerakkan masyarakat kearah budaya yang menjauh dari pornografi dan pikiran sensualitas. Acara-acara seperti Kebersamaan atau Muhassabah yang digelar oleh K.H. Abdullah Gymnastiar, misalnya, terbukti mampu menjadi strange attractor semacam ini.
Ketiga, pada tingkat politik media, harus dikembangkan berbagai saluran media public (radio publik, teve pulbik, koran publik, video publik) yang mampu menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi penyaluran berbagai aktivitas, aspirasi, dan kreativitas publik, yang dijalankan dan dievaluasi oleh publik itu sendiri. Sehingga, berbagai kecenderungan negatif (pornografi, pornoaksi) kini dapat diselesaikan oleh publik itu sendiri di dalam ruang-ruang dialog, diskusi, debat yang tersedia di dalam media publik itu sendiri.
Keempat, pada tingkat semiotika media, perang tanda (semiotic warfare) di dalam media harus tetap digalakkan dalam rangka menciptakan sebuah ruang, yang di dalamnya tubuh, penampakan, dan tanda-tandanya, tidak lagi menjadi titik sentral dari kebudayaan, bahasa, tanda, dan semiotik–seperti yang berlangsung dalam budaya materialisme, hedonisme, dan konsumerisme Barat. Sebaliknya, semiotika media di masa depan harus mampu mengembangkan tanda, kode, atau makna-makna yang lebih memberi ruang dan penghargaan pada jiwa, hati, cinta, atau spirit.
Keenam, pada tingkat penerimaan media (media reception) harus ditingkatkan melek media (media literacy) dikalangan consumer, pembaca atau pemirsa media, khususnya dengan meningkatkan sikap analitis, sikap kritis, dan sikap selektif di kalangan masyarakat media–baik secara adat, moral, atau cultural – sehingga dalam mengonsumsi media, mereka tidak hanyut dalam perangkap teknologi libido (libidinal technology) dan mesin-mesin libido yang dikembangkan oleh media kapitalistik.
Referensi :
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta : Penerbit Jalasutra.
0 comments:
Post a Comment