Dan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dekapan berkata,
Bicaralah pada kami perihal Anak.
Dan dia berkata:
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok
Yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka
Tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup
Diluncurkan oleh Sang Pemanah yang telah membidik ke arah keabadian,
Dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya
Sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan Sang Pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang
Maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.
(Puisi Khalil Gibran)
Aku teringat pesan yang dibawa puisi terkenal ini saat aku merasa kecewa dan sedih ketika menghadapi anak-anak tercintaku, dimana yang laki-laki mulai memasuki masa remaja (puber) dan yang perempuan memasuki masa dewasa. Terlebih saat ini mereka hidup di negara dengan sistem nilai dan pendidikan barat, dimana kebebasan berbicara, bersikap dan bertindak betul-betul diajarkan di bangku sekolah serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat termasuk di rumah. Hal ini tentunya berbenturan dengan sistem nilai timur khususnya Indonesia yang telah melekat pada diri kita sebagai orangtua.
Hal ini dapat terjadi karena adanya ketentuan (bahkan undang-undang) yang menyatakan bahwa anak yang telah berusia 18 tahun telah memiliki hak sendiri yang dilindungi oleh negara. Intinya apabila orangtua memaksakan keinginannya kepada mereka dan apabila anak merasa keberatan atau tidak setuju/menerima maka mereka dapat mengadukan/melaporkan orangtuanya tersebut kepada polisi untuk dikenakan sanksi aturan tersebut. Tidak menjadi alasan bahwa keinginan orangtua itu adalah sesuai dengan adat-istiadat kita di Indonesia atau sesuai ajaran agama Islam yang dianut, orangtua tetap tidak punya hak untuk mengatur anak-anak mereka.
Sungguh menurutku kebebasan yang seperti ini sudah berlebihan dan kelewat batas. Pendekatan pribadi kepada anak tampaknya menjadi hal penting dilakukan agar anak mau dan dapat mengerti adat-istiadat negara asalnya yang memiliki makna dan filosofi yang luhur didalamnya. Begitu pula anak diharapkan mengerti dan mau menjalankan ibadah agamanya agar mendapat ridho Allah SWT di akhirat (kehidupan setelah kematian).
Situasi kehidupan masyarakat yang seolah tak ber-Tuhan dan sangat langkanya keberadaan sebuah mesjid dan sekolah/pendidikan agama Islam di kota ini menjadi kendala besar bagi para orangtua untuk membuat anak mereka mencintai adat-istiadat (budaya) negara asalnya dan agamanya yang semuanya mengajarkan pentingnya kepatuhan/ketaatan atau berbakti kepada orangtua.
Pesan dari puisi ini mengajarkan bahwa diantara kepatuhan anak kepada orangtua dan kebebasan yang dimiliki oleh anak terdapat peran penting yang harus dijalankan oleh orangtua yaitu sebagai “busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup, yang diluncurkan oleh Sang Pemanah (Allah) yang telah membidik ke arah keabadian,”
Tanah Larrakia
29 Agustus 2013
0 comments:
Post a Comment