|
Marinir Indonesia mendarat di dekat Dilli |
Rasa takjubku begitu besar ketika teman akrabku Nelson (bukan nama
sebenarnya) yang berasal dari Timor Leste bercerita bahwa dia baru saja
pulang liburan dari Timor Leste, Singapore, Belanda dan Portugal.
Padahal di liburan sebelumnya (5 tahun lalu) ia sudah mengunjungi
Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol dan Portugal. Di benakku masih
bertanya-tanya, benarkan seorang
cleaner (tukang bersih-bersih,
dengan tugas mengambil sampah, menyapu, mengepel, vacum karpet, lap
meja, lap kaca dan membersihkan toilet berikut mengobok-obok kloset) kok
bisa-bisanya melancong keliling tiga benua! Di Indonesia saja seorang
manajer atau bahkan direktur belum tentu bisa memiliki uang cukup untuk
jalan-jalan ke luar negeri apalagi keliling Eropa seperti itu.
“Kenapa
tidak!”, jawabnya ketika aku bertanya tentang hal itu kepadanya. “Kita
kan bisa tabung sebagian uang gaji kita yang sekitar 1000 dolar seminggu
itu… lalu kita ambil juga uang cuti tahunan atau 5 tahunan yang belum
diambil itu, lalu terbanglah kita…”, katanya dengan penuh keyakinan
sambil memakai kacamata hitamnya yang membuatnya semakin gagah dan
perlente. Ia pun lalu pamitan dan bergegas meninggalkanku menuju
mobilnya yang terbilang bagus itu. Jangan bayangkan profesi
cleaner itu rendah seperti petugas
cleaning service atau
office boy di Indonesia, di sana mereka memang kerjanya berat secara fisik tapi secara ekonomi ternyata mereka cukup sejahtera. Terlebih
cleaner
yang berasal dari Asia, mereka hemat dan rajin menabung (tidak boros
untuk mabuk-mabukkan seperti kebiasaan kebanyakan orang bule dan
Aborigin di Darwin) sehingga memiliki banyak uang, punya mobil bagus,
bisa liburan keluar negeri seperti Nelson dan bahkan bisa membantu
saudara-saudara mereka yang umumnya miskin di negaranya masing-masing
(sebagaimana TKI/TKW kita yang bekerja di Malaysia, Hongkong, Arab, dan
Negara lainnya).
Aku dan Nelson sama-sama bekerja sebagai
cleaner di suatu perusahaan
cleaning service
yang sudah mapan di kota Darwin, Australia. Bedanya adalah dia sudah
bekerja lebih dari 10 tahun di sana sementara aku baru genap 8 bulan.
Namun baru 8 bulan saja aku sudah merasa profesi ini kok ternyata mampu
menghidupi keluargaku (1 isteri, 2 anak – SMP & SMA) yang secara
rutin harus melunasi tagihan-tagihan seperti uang sewa flat/unit 420
dolar seminggu, bayar listrik & PAM sekitar 350 dolar/3 bulan,
makan, petrol 75 dolar/minggu, handphone 60 dolar/minggu, internet 60
dolar/minggu, dan lainnya, padahal kurs 1 dolar Australia begitu mahal
hampir menembus Rp. 10.000,-. Bisa dibayangkan begitu banyak uang yang
bisa dikumpulkan sahabatku si Nelson dengan statusnya yang masih jomblo
itu!
Selama ini aku mengenal Nelson hanya sekilas dari kulit
luarnya saja, mungkin karena kita hanya berjumpa sesekali di jam 5 subuh
saat mengambil kunci gedung area kerja kita masing-masing dan pada jam 1
siang saat kami mengembalikan kunci tersebut. Itu pun hanya berupa
sapaan ‘say hello’ saja tanpa sempat ngobrol panjang lebar. Namun
beberapa hari terakhir ini kami menjadi sering berjumpa, baik itu sesaat
setelah memarkir mobil sambil berjalan menuju tempat pengambilan kunci
ataupun saat berjalan menuju mobil ketika hendak pulang, dan bahkan kami
sempat beberapa kali berbincang di cafe, student lounge atau koridor
kampus tempat kami bekerja pada saat
break time di jam 9.00-9.45.
Sebagaimana
halnya dengan orang Timor Leste lainnya yang tinggal di Darwin, Nelson
pun masih bisa berbahasa Indonesia meskipun agak tergagap. Jadi kami
berbincang menggunakan bahasa Indonesia yang terkadang juga bercampur
bahasa Inggris. Kamipun banyak bertukar cerita, Nelson mengisahkan bahwa
sebenarnya dia berdarah campurtan Timor Leste dari ibu dan Portugis
dari garis ayah. Oleh karena itu salah satu tujuan liburannya tempo hari
selain ke Timor Leste, Singapore dan Belanda adalah ke Portugal untuk
mengunjungi Om-Tante dan famili lainnya yang masih banyak bermukim di
sana.
Mengetahui aku berasal dari Jakarta, Nelson pun mencoba
mengakrabkan suasana dengan bercerita bahwa dalam liburannya lima tahun
yang lalu selain berkeliling ke beberapa Negara Eropa seperti Belanda,
Jerman, Perancis, Spanyol dan Portugas ia pernah jalan-jalan ke Jakarta
menengok salah satu Tante dari pihak Ibunya yang telah lama menetap di
sekitar Taman Mini. Bahkan Tantenya itu sekarang telah menjadi seorang
muslimah setelah menikah dengan seorang muslim yang taat beragama, yang
sekarang telah menjadi Ustadz sekaligus Imam yang banyak jamaahnya di
salah satu mesjid di sana. Sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan
Tantenya tersebut karena dari kabar terakhir ia mengetahui keluarga
mereka telah pindah dari Jakarta ke Sumatra, entah ke kota mana.
Ketika
di Jakarta, Nelson menceritakan bahwa ia sempat mengunjungi beberapa
tempat hiburan dan ia sangat terkesan dengan Ancol (Taman Impian Jaya
Ancol) yang dikatakannya sebagai tempat hiburan yang sangat lengkap dan
menarik. Tetapi dengan spontan ia mengatakan tidak berminat ketika
ditanya apakah mau tinggal menetap di Jakarta. Baginya kota Jakarta
terlalu besar, ramai, hiruk pikuk dan tidak aman. Walaupun begitu, ia
tidak menampik bahwa suatu ketika ia akan kembali mengunjungi Jakarta
lagi untuk berlibur.
Menganggapnya telah menjadi seorang sahabat,
maka aku pun mulai terbuka untuk bercerita tentang masalah pribadi dan
keluargaku termasuk kesulitan-kesulitan yang dialami untuk bisa bertahan
dan betah hidup di Darwin, yang segala sesuatunya serba mahal. Darwin
memang adalah kota dengan biaya hidup termahal di seantero Australia
termasuk jika dibandingkan dengan biaya hidup di Sidney dan Melbourne.
Kebetulan saat itu aku sedang kesulitan mendapatkan tempat tinggal baru
karena pemilik tempat tinggal sekarang akan pindah ke kota Brisbane
(Queensland) dan telah menjual rumahnya kepada orang lain yang berencana
akan langsung menempatinya sendiri.
Tak segan aku pun meminta
bantuannya untuk mencari flat/unit 2 kamar untuk aku sekeluarga, setelah
beberapa kali aplikasi yang kukirimkan ke agen-agen perumahan gagal dan
didahului diambil kandidat lain. Selain itu juga karena di masa
peralihan
dry season dan
wet season ini memang biasanya
sulit untuk mencari rumah tinggal, satu rumah bisa diperebutkan oleh
sekitar 20-30 kandidat/peminat. Aku berharap dia bisa menggunakan
jaringan orang-orang Timor Leste untuk mendapatkan tempat tinggal
untukku sekeluarga, setidaknya untuk sementara. Tapi belum sempat ia
membantu, ternyata aku sudah mendapatkan tempat tinggal. Ada salah satu
keluarga asal Indonesia yang bersedia rumahnya disewa karena ia dan
suaminya akan tinggal sementara di rumah orangtuanya yang sedang sakit,
agar ia bisa lebih mudah untuk menemani dan merawatnya.
Begitu
akrabnya kami, sampai suatu ketika ia mengatakan bahwa sebenarnya ia
sudah yatim piatu tidak memiliki ayah dan ibu lagi. Ibunya baru
meninggal 2 tahun yang lalu, sementara ayahnya sudah lama meninggal
yaitu ketika ia masih dalam kandungan ibunya. Jadi ia sama sekali tidak
sempat mengenal ayahnya. Tapi dari penuturan almarhumah ibunya serta
om-om dan tantenya, ayahnya tewas dibunuh tentara Indonesia (TNI).
Ketika itu ayahnya adalah salah satu orang bergabung bersama para
pejuang Fretilin Pro-Kemerdekaan Timor Timur yang melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Indonesia di Timor Timur. Tidak diketahui ayahnya
terbunuh dalam pertempuran dimana atau dalam peristiwa apa, dan yang
tragisnya dimana ayahnya dikuburkan hingga saat ini masih belum
diketahui keberadaannya. “Kemungkinan pihak tentara Indonesia yang
mengetahui dimana ayah saya dan teman-temannya dikuburkan”, katanya
dengan suara datar tanpa ekspresi kesedihan seakan hal itu memang sudah
lama dilupakannya.
Namun sebaliknya, justru aku yang terhenyak
mendengar ceritanya kali ini. Timbul perasaan iba betapa sedihnya ia
telah hidup tanpa ayah sejak lahir, tapi juga terselip prasangka apakah
ia masih menyimpan dendam kepada orang-orang Indonesia. Seakan ia tahu
bahwa ada perubahan dalam ekspresiku maka ia buru-buru menetralisirnya
dengan mengatakan “Memang itu sejarah hidup saya yang menyedihkan, tapi
peristiwa itu sudah lama sekali berlalu dan sekarang masa damai, jadi
saya tidak perlu merenungi hal itu lagi, saya harus maju dan sukses!”.
Dengan ekspresi yang berubah menjadi riang dan tertawa geli ia juga
bercerita bahwa ia waktu itu termasuk salah satu orang Timor Timur yang
melakukan demo dengan melempari batu ke kantor Konsultat Indonesia di
Darwin serta menghancurkan beberapa kendaraan mobil di halaman depannya,
tapi tidak sempat membakarnya karena dicegah dan dihalang-halangi
polisi yang menjaganya dengan ketat. Menurut cerita beberapa sesepuh
orang Indonesia di Darwin, saat ini memang orang-orang Indonesia di
Darwin cukup menderita karena cukup lama menjadi korban sasaran caci
maki bukan saja oleh orang Timor Timur tapi juga oleh orang-orang
Australia yang pro kemerdekaan Timor Timur.
Nelson menyadari bahwa
sebenarnya sejak menjadi bagian Indonesia memang Timor Timur menjadi
lebih maju dibandingkan ketika masih mnejadi bagian dari Portugal. Namun
ia menyayangkan tindakan tentara Indonesia (TNI) saat itu yang masih
bertindak brutal terhadap rakyat yang dianggap masih antipasti terhadap
pemerintah Indonesia. Misalnya cukup sering TNI mendatangi rumah-rumah
atau kantor mereka di malam hari, menggeledahnya, menghancurkan
barang-barang dan mengambil komputer, TV atau perabot lainnya yang
berharga. Tindakan-tindakan itu yang salah satunya membuat mereka terus
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia di Timor Timur.
Namun
saat ini dengan kehidupan barunya di Australia, ia merasa harus bisa
melupakan semua masa kelam itu. Pemerintah Timor Leste (dimotori oleh Xanana Gusmao) saja sudah menjalin hubungan diplomatik yang cukup mesra
dengan Pemerintah Indonesia, kenapa ia harus menyimpan dendam yang
berkepanjangan terhadap orang Indonesia yang sebenarnya juga masih
bersaudara. Selain itu, saat ini di Darwin ia pun banyak berhubungan
dengan orang-orang Indonesia yang selain karena pekerjaan juga karena
memiliki kesamaan dalam bahasa yang dikuasai. Bahkan dalam kesehariannya
ia pun harus berhubungan dan saling membantu dengan sesama orang Timor
Leste walaupun dahulunya berseberangan paham karena “pro-integrasi”
dengan Indonesia. Meskipun masih ada saja pihak-pihak yang masih mencoba
memprovokasi orang Timor Leste untuk tetap memusuhi dan antipati
terhadap orang dan Pemerintah Indonesia. Di perantauan, walaupun kita
di negara sendiri berbeda paham, suku, agama tetapi bila berada di
negara orang lain kita tetap merasa lebih dekat dan nyaman berada
ditengah-tengah bangsa sendiri karena adanya banyak kesamaan yang
dimiliki.
Sadisnya pertikaian dan kejamnya perang telah merenggut
sebagian kebahagiaan sahabatku ini dan banyak lagi anak-anak,
isteri-isteri dan para orangtua di berbagai belahan dunia yang ditinggal
mati orang-orang tercintanya yang tewas karena korban pertikaian dan
perang. Hentikan perang, cegah perang, hindari pertikaian, kurangi sifat
haus kekuasaan, tegakkan keadilan, sejahterakan rakyat, dan ciptakan
kedamaian di bumi yang fana ini.
Aku, kita semua… tidak mau kehilangan orang yang sangat kita cintai karena perang.
Salam perdamaian.
Darwin, 27 Desember 2012