Tuesday 18 December 2012

Kenapa Kita Mesti Kembali Ke Darwin Pak?



Aku telah memberanikan diri memutuskan bahwa mulai awal tahun ini akan menetap lama di Darwin, bukan bolak-balik ke Jakarta setiap bulan sekali seperti yang selama ini dilakukan karena alasan pekerjaan yang tidak bisa dilepaskan. Income cukup besar yang didapat dan gengsi (prestise) menangani instansi terhormat di Indonesia, ternyata tidak bisa menutupi kebutuhan hidup yang tinggi secara finansial dan support peran ayah/suami yang dibutuhkan terhadap keluarga yang selama setahun ini telah hilang atau menjadi invalid. Untuk membayar semua itu, aku memang harus menetap di Darwin untuk bekerja, menjalani sekaligus menikmati hidup di sana, biar bisa dapat oleh-oleh ‘bule’nya ketika kembali ke Indonesia di akhir 2014 nanti.

Namun sehari menjelang aku dan kedua anakku kembali ke Darwin selepas menghabisi liburan selama sebulan di Indonesia, anakku yang kecil – lelaki kelas 2 SMP (years 8) – nyeletuk “kenapa sih kita mesti kembali ke Darwin… kan enakkan di Indonesia Pak, banyak teman…” Ungkapan yang membuatku agak tersentak juga dan membuatku mencoba berpikir kembali apakah keputusanku membawa mereka pergi sekolah jauh-jauh itu hanya merupakan obsesiku saja atau itu hanya merupakan ungkapan dari seorang anak kecil yang memang masih didominasi oleh kesenangan dan belum bisa mengantisipasi atau merencanakan masa depannya sendiri. Apapun keluhannya saat ini, terbukti baru setahun di sana dia sudah menguasai bahasa Inggris dengan cukup baik. Dia sudah bisa membaca novel berbahasa Inggris dengan asyik sambil tersenyum-senyum, menonton film di TV dan bioskop sambil tertawa terbahak, sementara dia heran melihat bapak-ibunya kok diam saja… (masih mikir, lama ngertinya kali!). Terlebih lagi ternyata di akhir tahun sekolahnya, dia menyabet “Award for Consistent Effort” dalam pelajaran bahasa Inggris di kelasnya. Dia juga berturut mendapat ‘Bronze Award’, ‘Silver Award’, ‘Gold Award’ dan akhirnya ‘Platinum Award’, atas 20 ‘Good Standing’ yang diperolehnya di kelas sepanjang tahun 2011. ‘Platinum Award’ itu disampaikan dihadapan para orangtua siswa dan tahun 2011 ini hanya didapatkan oleh 16 orang dari hampir 500 siswa yang saat ini bersekolah di Darwin Middle School. Pencapaian yang sungguh telah membanggakan orangtuanya… Apakah kenyataan-kenyataan ini lalu akan menyurutkanku untuk tidak memaksanya tetap kembali ke Darwin!

Anakku yang pertama – perempuan kelas 3 SMA (years 12 di Darwin High School) – sekarang kelihatannya sudah mulai berbeda sikapnya dibanding ketika kami pertama kali datang ke Darwin setahun yang lalu persis sama di awal Februari juga. Selama sebulan lebih liburannya di Indonesia, ia hanya berhasil menemui atau jalan-jalan dengan beberapa teman dekatnya saja karena beberapa teman lainnya sudah sibuk dengan acara liburan mereka masing-masing. Tapi ia tidak kecewa dan kelihatannya bisa memahami urusan teman-temannya sekarang yang sudah berbeda, tidak seperti ketika mereka bersama-sama dulu di satu SMA, SMP bahkan SD. Kekecewaannya mungkin juga telah terobati karena selama di Jakarta dia bisa melampiaskan hobi belanjanya di Mal Ambasador, PS, Senci, PIM, MKG, Metmal dan tentunya Gramat (Gramedia Matraman), dengan menghabiskan hampir 10 juta uang tabungan hasil kerjanya sebagai karyawan part timer KFC di Darwin. Dia memborong pakaian, tas, sepatu, sendal, HP dan segala macam yang dianggapnya mahal kalau dibeli di Darwin. Hal yang membuatku agak lega adalah ketika mendengar ia bercerita ke temannya bahwa awalnya dia merasa bete, kesal, marah dan menolak ketika dipaksa bapak-ibunya pindah sekolah ke Darwin, kota yang sepi dari keramaian itu. Dia bilang, meski awalnya ia merasa teman-temannya di Darwin itu ‘alay’, tapi sekarang dia sudah punya banyak teman yang cocok dan semangat merencanakan serta mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah di Australia (padahal biayanya wuaaah!), tidak mau kuliah di Indonesia. Kenyataan itu sungguh melegakan, pasalnya di pertengahan tahun 2011, aku pernah marah besar dan serius berniat memaksanya pulang ke Indonesia karena sikapnya yang selalu ogah-ogahan sekolah dan menolak membantu pekerjaan yang membutuhkan perannya sebagai anak perempuan yang telah remaja.

Aku mulai bisa sedikit bernapas lega, satu per satu masalah terselesaikan. Masalah berikutnya yang menghadang adalah ‘bagaimana mencari pekerjaan’… Tapi aku harusnya tidak perlu khawatir bukan… hanya perlu usaha yang keras aja! “Allah akan menurunkan rezeki kita yang ada di langit dan memunculkan rezeki kita yang ada di dalam bumi untuk kita, asalkan kita meminta kepada Allah dan berusaha mendapatkannya”, begitu terjemahan bebas dari janji Allah. Aamiin YRA…

Darwin, 1 Februari 2012

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More