Seorang wanita usia sekitar 70 tahun yang sudah selama 1 tahun ini matanya sudah tidak bisa melihat lagi (buta). “Semuanya gelap… walaupun disorot pakai senter baterai, tetap aja tidak ada cahaya sedikitpun yang terlihat”, katanya. Bola matanya masih normal, meskipun ada sedikit selaput yang menyelimutinya. Kelopak matanya pun masih bisa digerak-gerakan sebagaimana kalau kita berkedip. Selain itu, daya ingatnya, kemampuan berpikir sehatnya dan bahkan kelancaran serta “kecerewetannya” bicaranya relatif tidak berkurang.
Dengan kebutaan matanya, ia masih
bisa mengatur keperluan rumah tangganya, seperti menyuruh membayar listrik,
menagih hutang, bahkan mengontrol anak dan tukang yang sedang membangun tembok
belakang rumahnya. Jadi orang yang buta matanya, sesungguhnya tidak buta
ingatannya, inderanya yang lain (pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan),
bahkan pikiran dan perasaan/hatinya.
Usaha penyembuhan yang dilakukan
juga sudah dengan berbagai cara. Dokter mata di RS Cicendo Bandung sudah
memvonis tidak bisa disembuhkan lagi, karena yang terganggu adalah fungsi saraf
penglihatan bukan katarak atau lainnya yang masih mungkih dipulihkan melalui
operasi. Dokter mata di Cirebon juga demikian, ia hanya diberikan obat tetes
mata yang akhirnya tidak lagi ia teruskan karena tidak dirasakan ada perubahan
ke arah kesembuhan. Pernah juga diusahakan pengobatan ke seorang tabib terkenal
di Cilacap. Dengan metode menyedot mata yang buta lalu berhasil dikeluarkan
cairan yang berisi segerintil daging, ternyata kesembuhan yang didambakanjuga
tidak kunjung datang. Usaha penyembuhan akhirnya sampai juga pada minta
pertolongan orang pintar (paranormal, dukun). Mereka umumnya mengatakan bahwa
kebutaannya sulit disembuhkan karena “dikerjain” oleh orang yang tidak suka dan
merasa telah di”zholimi” oleh dirinya dan keluarganya. Pendapat seperti ini
cenderung lebih mudah dan mudah diterima oleh dirinya dan juga sebagian besar
anak-anak dan keluarga besarnya, meskipun kebenarannya belum nyata dan masih
sulit dibuktikan.
Kalau ditelusuri sejarah
kehidupannya sebelum ia mengalami kebutaan, ada alasan yang lebih masuk akal
yang kemungkinan menyebabkan penglihatannya tidak berfungsi seperti
sekarang. Selama bertahun-tahun semenjak menikah hingga anak pertamanya telah
memiliki 2 orang cucu (jadi cicit dari wanita ini) seperti sekarang, ia memiliki
profesi pekerjaan sebagai pembuat sekaligus penjual gorengan (pisang, singkong,
ubi, dan sejenisnya) di pasar desa tempatnya tinggal. Bertahun-tahun ia bangun
dini hari, menyalakan tungku api kayu bakar (bukan kompor), meniup-niupnya
dengan bantuan pipa kecil yang bolong agar nyala apinya merata (bahkan
dilakukan dengan jarak yang dekat dari api yang silau menyala), menggoreng
selama beberapa jam sampai pagi matahari terbit (yang hanya diselang dengan
sholat Subuh) sebelum akhirnya ia mandi, berpakaian dan bersiap-siap pergi
berjualan di pasar. Menjadi masuk akal apabila saat ini fungsi penglihatannya
terganggu dan akhirnya tidak berfungsi sama sekali, karena bola mata dan
lapisannya yang bening dan halus ini secara rutin terus-menerus selama
bertahun-tahun dipanasi oleh suhu api yang berlebihan (kulit pun seringkali
tidak tahan kepanasan) dan disinari oleh cahaya merah api yang silau kontras.
Namun sebagai orang desa (kampung), kesadaran akan resiko ini memang tidak
terpikirkan olehnya. Berdasarkan cerita yang diperoleh ternyata tidak sedikit
wanita-wanita lain dengan profesi pekerjaan yang sama/serupa di desa ini dan
beberapa desa lain di sekitarnya juga tertimpa kejadian yang sama dan senasib
dengan penderitaan wanita ini. Sungguh malang mereka ini yang karena tuntutan
hidup dan kurangnya kesadaran akan resiko pekerjaan yang dilakukannya telah
mengakibatkan penderitaan seperti ini.
Semoga Allah tetap senantiasa
memberikan kebahagiaan dan ke”terang”an pada jiwa (hati) mereka meskipun dalam
kebutaan yang gelap, amin…..
Leuwimunding, 22 April 2010
0 comments:
Post a Comment