Sejak awal bulan Februari hingga akhir September 2011 (8 bulan) kami hidup di Darwin tanpa memiliki mobil pribadi, padahal selama ini di Jakarta hidup dan aktivitas kami banyak bergantung pada mobil bahkan bukan hanya pada satu mobil. Kalau selama ini anak-anak berangkat-pulang sekolah diantar supir, sekarang mereka merasakan suka-dukanya berjalan kaki dan naik bus sekolah yang untungnya gratis sebagai student. Terlebih kalau hujan deras angin kencang seperti pernah terjadi, payung mereka sampai rusak dan mereka sendiri basah kuyup, ini pengalaman baru buat mereka berdua. Begitu pula dengan isteriku yang harus melupakan kebiasaannya menyetir mobil sendiri atau kadang-kadang diantar supir juga. Sekarang ia harus naik bis, yang harus cermat membaca dan mengantisipasi jadwal bis, kalau tidak pasti dia harus berlari-lari mengejar bis atau menunggu sekitar 20 menit untuk naik bis berikutnya. Sementara aku, kalau naik bus umum harus bayar 2 dolar (AUD) untuk jangka waktu 3 jam. Selama waktu itu kita boleh beberapa kali naik-turun bis sampai bosan tanpa bayar lagi, tapi lewat dari itu ya harus bayar lagi 2 dolar. Kalau mau jalan-jalan ke mal (kalau kangen Jakarta), ke pantai (Darwin dikelilingi pantai), datang kondangan atau menghadiri acara-acara formal atau informal lain hampir selalu kami naik bus umum, kecuali malam hari yang harus pinter2 cari tebengan atau sial-sialnya ya terpaksa naik taksi bayar pake dolar yang terasa muahaal yaitu sekitar 15-30 AUD (tergantung jauh dekat jaraknya).
Pernah suatu ketika anak perempuanku
yang high school pulang malam setelah mengikuti acara dengan teman-temannya di
pantai Mindil. Entah kenapa, tidak ada seorang teman pun yang punya mobil
mengantar atau menemaninya pulang. Aku dan isteri sampai terpaksa menjemputnya
di halte bus 200-300m dari rumah, menunggu bus-bus terakhir yang jadwal
sampainya di halte itu sekitar jam 10-11 malam, sambil ditemani para Aborigin
yang mengigau ngoceh cerita kehebatan masa mudanya yang mampu beristeri banyak,
karena mabok. Sungguh hal ini belum pernah terjadi selama kami di Jakarta… ini
di negeri orang bo… anak perempuan kita… malam-malam lagi… apa yang engkau cari
hai Adiiil!!
Pernah juga suatu ketika kami ingin
mengunjungi Maritime Museum James Cook’s Ship, yaitu replika kapal James Cook
yang dijadikan museum di dermaga Wharf. Uniknya, menurut jadwal kapal ini hanya
singgah di Darwin 5 tahun sekali setelah berkeliling ke berbagai pelabuhan,
alangkah penasarannya hati kami ingin melihatnya dari dekat bahkan masuk ke dalamnya.
Setelah naik bis ke Darwin City Interchange dan berjalan kaki sebentar, tapi
kok masih jauh juga… sementara isteriku sudah kelelahan dan sakit kakinya. Dia
enggan melanjutkan berjalan kaki lagi, padahal kapal itu sudah tampak meski di
kejauhan. Akhirnya kami memutuskan untuk naik taksi saja ke sana, tapi sialnya
sang operator telepon perusahaan taksi itu tidak kunjung kasih kabar bahwa ada
taksi yang sudah bersedia mengantar kami. Lama tak kunjung ada taksi, kami pun
tampak mulai putus asa dan anak-anak pun ngomel2 bilang bahwa ini gara-gara
kami tidak punya mobil kayak dulu di Jakarta, waduh waduh ampuuun… Dengan
perasaan kecewa kami pun memutuskan pulang karena jadwal bis terakhir sudah
dekat waktunya…
Bermimpi deh rasanya kami bisa mengunjungi Maritime Museum
James Cook’s Ship pada 5 tahun yang akan datang! Apakah ini gara-gara kami
belum mobil!! Tetapi tanpa adanya mobil, sekarang
kami bertiga ternyata menjadi seorang pejalan kaki yang hebat, katanya cepat
beneeer kalau lagi jalan kaki… tidak seperti dulu, lambaaat banget dan cepat
sekali merasa capek!
Tanpa Pembantu Rumah Tangga
Wah ini benar-benar harus belajar
menekuni tugas-tugas dari profesi baru ini, misalnya nyapu, ngepel, cuci
pakaian, jemur pakaian, cuci piring, masak makanan sederhana untuk konsumsi
sendiri (masak beneran belum bisa), menemani belanja ke supermarket atau pasar
tradisional, dan lain-lain. Dulu aku, isteri bahkan anak2 jadi tukang nyuruh2
kalau mau apa aja, karena memang selama ini di rumah kami ada 4 orang yang bisa
disuruh, ada pembantu, supir, mamang dan keponakan.
Di sini sekarang semuanya berubah,
isteriku terasa bawel kalau menyuruh ini itu, diantara anak2ku juga telah
saling melempar pekerjaan, bahkan tidak jarang juga terjadi pertengkaran antara
anak dan orangtua (isteriku sih). Untuk mengatasinya, akhirnya kami membuat
kesepakatan yaitu masing-masing orang mengerjakan tugas-tugas yang menjadi
kebutuhan masing2. Untuk sementara kesepakatan ini lumayan mencegah kekacauan
yang sebelumnya terjadi meskipun dampaknya terjadi keborosan, misalnya sering
terjadi microwave, kompor, mesin cuci dan alat/mesin lainnya jadi digunakan
beberapa kali untuk sekali waktu kegiatan, ampuuun repotnya tanpa pembantu…
Tanpa Pekerjaan Tetap (Baca; Gengsi)
Di Jakarta aku mengelola kantor
sendiri dengan pekerjaan rutin dan proyek-proyek yang lumayan bergengsi, tapi
di sini sekian lama (berbulan-bulan…) masih berstatus pengangguran. Profesi
psikolog yang selama ini cukup dihargai di Jakarta, ternyata tidak (atau belum)
berlaku di Darwin. Sebaliknya, pekerjaan yang selalu didengung-dengungkan
(baca: dibangga-banggakan) oleh teman-teman Indonesia di sini adalah menjadi
Cleaner (baca: Office Boy di Indonesia), dengan alasan kerjanya gampang tapi
duitnya banyak dan tidak kalah dengan pekerjaan di office (kantoran). Mungkin
ada benarnya, tapi mau dikemanakan nih kompetensi kita selama ini kalau selama
3- 4 tahun ke depan beralih profesi menjadi Cleaner yang berduit banyak… Inikah
pilihan terbaik buatku saat ini, who knows? Inikah yang disebut dengan memulai
mencoba bersikap realistis, praktis dan sederhana…
Hatiku luluh saat menyaksikan
seorang asal Indonesia yang kaya di Darwin (memiliki perusahaan taksi,
restaurant, dll), dengan tanpa rasa segan atau malu mengepel sendiri lantai
restaurantnya yang tertumpah air di tengah ramainya tamu2 yang hadir atas
undangannya… Ketika ia kuhampiri dan kutanya mengapa, ia menjawab: “Yang
seperti ini, sudah biasa di sini Pak Adil…” Ini luar biasa buatku! Dunia
kebalik-balik… Ditaruh dimana gengsi dan harga diriku yang selama ini sudah
merasa hidup berkecukupan, tapi masih memanggul perasaan gengsi menjadi
Cleaner! Beratnya gengsi seringkali kita sendiri yang menciptakannya… Is it
true!!
Tanpa ini… tanpa itu… dan masih
banyak tanpa tanpa yang lainnya yang belum sempat diceritakan di sini…
Sungguh berat ternyata bila kita mencoba merasakan hidup “bertanpa-tanpa” (baca: sederhana) seperti itu…
Mungkin karena selama ini kita telah beruntung hidup selalu terbebas dari “tanpa-tanpa” tersebut…
Sungguh berat ternyata bila kita mencoba merasakan hidup “bertanpa-tanpa” (baca: sederhana) seperti itu…
Mungkin karena selama ini kita telah beruntung hidup selalu terbebas dari “tanpa-tanpa” tersebut…
Mau dan bisakah kita ber”empati”
terhadap orang lain yang hidupnya selalu dan banyak dipenuhi oleh
“tanpa-tanpa”!
Sebenarnya mereka-mereka itulah yang disebut sebagai orang hebat, bukan kita
kita yang mengaku sudah hebat tapi masih buanyaaak mengeluh! Memang kita perlu melatih diri untuk hidup lebih sederhana, agar kita
benar-benar menjadi manusia yang tangguh dan mandiri serta terbebas dari tudingan-tudingan miring dan hal-hal yang membangkitkan
rasa iri dari orang lain sebagaimana yang masih banyak terjadi saat ini di negeri kita tercinta,
Indonesia…
__________________
Darwin NT, Australia
November 2011
0 comments:
Post a Comment