Saturday 29 December 2012

Ayah Sahabatku Dibunuh Tentara Indonesia

Marinir Indonesia mendarat di dekat Dilli
Rasa takjubku begitu besar ketika teman akrabku Nelson (bukan nama sebenarnya) yang berasal dari Timor Leste bercerita bahwa dia baru saja pulang liburan dari Timor Leste, Singapore, Belanda dan Portugal. Padahal di liburan sebelumnya (5 tahun lalu) ia sudah mengunjungi Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol dan Portugal. Di benakku masih bertanya-tanya, benarkan seorang cleaner (tukang bersih-bersih, dengan tugas mengambil sampah, menyapu, mengepel, vacum karpet, lap meja, lap kaca dan membersihkan toilet berikut mengobok-obok kloset) kok bisa-bisanya melancong keliling tiga benua! Di Indonesia saja seorang manajer atau bahkan direktur belum tentu bisa memiliki uang cukup untuk jalan-jalan ke luar negeri apalagi keliling Eropa seperti itu.

“Kenapa tidak!”, jawabnya ketika aku bertanya tentang hal itu kepadanya. “Kita kan bisa tabung sebagian uang gaji kita yang sekitar 1000 dolar seminggu itu… lalu kita ambil juga uang cuti tahunan atau 5 tahunan yang belum diambil itu, lalu terbanglah kita…”, katanya dengan penuh keyakinan sambil memakai kacamata hitamnya yang membuatnya semakin gagah dan perlente. Ia pun lalu pamitan dan bergegas meninggalkanku menuju mobilnya yang terbilang bagus itu. Jangan bayangkan profesi cleaner itu rendah seperti petugas cleaning service atau office boy di Indonesia, di sana mereka memang kerjanya berat secara fisik tapi secara ekonomi ternyata mereka cukup sejahtera. Terlebih cleaner yang berasal dari Asia, mereka hemat dan rajin menabung (tidak boros untuk mabuk-mabukkan seperti kebiasaan kebanyakan orang bule dan Aborigin di Darwin) sehingga memiliki banyak uang, punya mobil bagus, bisa liburan keluar negeri seperti Nelson dan bahkan bisa membantu saudara-saudara mereka yang umumnya miskin di negaranya masing-masing (sebagaimana TKI/TKW kita yang bekerja di Malaysia, Hongkong, Arab, dan Negara lainnya).

Aku dan Nelson sama-sama bekerja sebagai cleaner di suatu perusahaan cleaning service yang sudah mapan di kota Darwin, Australia. Bedanya adalah dia sudah bekerja lebih dari 10 tahun di sana sementara aku baru genap 8 bulan. Namun baru 8 bulan saja aku sudah merasa profesi ini kok ternyata mampu menghidupi keluargaku (1 isteri, 2 anak – SMP & SMA) yang secara rutin harus melunasi tagihan-tagihan seperti uang sewa flat/unit 420 dolar seminggu, bayar listrik & PAM sekitar 350 dolar/3 bulan, makan, petrol 75 dolar/minggu, handphone 60 dolar/minggu, internet 60 dolar/minggu, dan lainnya, padahal kurs 1 dolar Australia begitu mahal hampir menembus Rp. 10.000,-. Bisa dibayangkan begitu banyak uang yang bisa dikumpulkan sahabatku si Nelson dengan statusnya yang masih jomblo itu!

Selama ini aku mengenal Nelson hanya sekilas dari kulit luarnya saja, mungkin karena kita hanya berjumpa sesekali di jam 5 subuh saat mengambil kunci gedung area kerja kita masing-masing dan pada jam 1 siang saat kami mengembalikan kunci tersebut. Itu pun hanya berupa sapaan ‘say hello’ saja tanpa sempat ngobrol panjang lebar. Namun beberapa hari terakhir ini kami menjadi sering berjumpa, baik itu sesaat setelah memarkir mobil sambil berjalan menuju tempat pengambilan kunci ataupun saat berjalan menuju mobil ketika hendak pulang, dan bahkan kami sempat beberapa kali berbincang di cafe, student lounge atau koridor kampus tempat kami bekerja pada saat break time di jam 9.00-9.45.

Sebagaimana halnya dengan orang Timor Leste lainnya yang tinggal di Darwin, Nelson pun masih bisa berbahasa Indonesia meskipun agak tergagap. Jadi kami berbincang menggunakan bahasa Indonesia yang terkadang juga bercampur bahasa Inggris. Kamipun banyak bertukar cerita, Nelson mengisahkan bahwa sebenarnya dia berdarah campurtan Timor Leste dari ibu dan Portugis dari garis ayah. Oleh karena itu salah satu tujuan liburannya tempo hari selain ke Timor Leste, Singapore dan Belanda adalah ke Portugal untuk mengunjungi Om-Tante dan famili lainnya yang masih banyak bermukim di sana.

Mengetahui aku berasal dari Jakarta, Nelson pun mencoba mengakrabkan suasana dengan bercerita bahwa dalam liburannya lima tahun yang lalu selain berkeliling ke beberapa Negara Eropa seperti Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol dan Portugas ia pernah jalan-jalan ke Jakarta menengok salah satu Tante dari pihak Ibunya yang telah lama menetap di sekitar Taman Mini. Bahkan Tantenya itu sekarang telah menjadi seorang muslimah setelah menikah dengan seorang muslim yang taat beragama, yang sekarang telah menjadi Ustadz sekaligus Imam yang banyak jamaahnya di salah satu mesjid di sana. Sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan Tantenya tersebut karena dari kabar terakhir ia mengetahui keluarga mereka telah pindah dari Jakarta ke Sumatra, entah ke kota mana.

Ketika di Jakarta, Nelson menceritakan bahwa ia sempat mengunjungi beberapa tempat hiburan dan ia sangat terkesan dengan Ancol (Taman Impian Jaya Ancol) yang dikatakannya sebagai tempat hiburan yang sangat lengkap dan menarik. Tetapi dengan spontan ia mengatakan tidak berminat ketika ditanya apakah mau tinggal menetap di Jakarta. Baginya kota Jakarta terlalu besar, ramai, hiruk pikuk dan tidak aman. Walaupun begitu, ia tidak menampik bahwa suatu ketika ia akan kembali mengunjungi Jakarta lagi untuk berlibur.

Menganggapnya telah menjadi seorang sahabat, maka aku pun mulai terbuka untuk bercerita tentang masalah pribadi dan keluargaku termasuk kesulitan-kesulitan yang dialami untuk bisa bertahan dan betah hidup di Darwin, yang segala sesuatunya serba mahal. Darwin memang adalah kota dengan biaya hidup termahal di seantero Australia termasuk jika dibandingkan dengan biaya hidup di Sidney dan Melbourne. Kebetulan saat itu aku sedang kesulitan mendapatkan tempat tinggal baru karena pemilik tempat tinggal sekarang akan pindah ke kota Brisbane (Queensland) dan telah menjual rumahnya kepada orang lain yang berencana akan langsung menempatinya sendiri.

Tak segan aku pun meminta bantuannya untuk mencari flat/unit 2 kamar untuk aku sekeluarga, setelah beberapa kali aplikasi yang kukirimkan ke agen-agen perumahan gagal dan didahului diambil kandidat lain. Selain itu juga karena di masa peralihan dry season dan wet season ini memang biasanya sulit untuk mencari rumah tinggal, satu rumah bisa diperebutkan oleh sekitar 20-30 kandidat/peminat. Aku berharap dia bisa menggunakan jaringan orang-orang Timor Leste untuk mendapatkan tempat tinggal untukku sekeluarga, setidaknya untuk sementara. Tapi belum sempat ia membantu, ternyata aku sudah mendapatkan tempat tinggal. Ada salah satu keluarga asal Indonesia yang bersedia rumahnya disewa karena ia dan suaminya akan tinggal sementara di rumah orangtuanya yang sedang sakit, agar ia bisa lebih mudah untuk menemani dan merawatnya.

Begitu akrabnya kami, sampai suatu ketika ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah yatim piatu tidak memiliki ayah dan ibu lagi. Ibunya baru meninggal 2 tahun yang lalu, sementara ayahnya sudah lama meninggal yaitu ketika ia masih dalam kandungan ibunya. Jadi ia sama sekali tidak sempat mengenal ayahnya. Tapi dari penuturan almarhumah ibunya serta om-om dan tantenya, ayahnya tewas dibunuh tentara Indonesia (TNI). Ketika itu ayahnya adalah salah satu orang bergabung bersama para pejuang Fretilin Pro-Kemerdekaan Timor Timur yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia di Timor Timur. Tidak diketahui ayahnya terbunuh dalam pertempuran dimana atau dalam peristiwa apa, dan yang tragisnya dimana ayahnya dikuburkan hingga saat ini masih belum diketahui keberadaannya. “Kemungkinan pihak tentara Indonesia yang mengetahui dimana ayah saya dan teman-temannya dikuburkan”, katanya dengan suara datar tanpa ekspresi kesedihan seakan hal itu memang sudah lama dilupakannya.

Namun sebaliknya, justru aku yang terhenyak mendengar ceritanya kali ini. Timbul perasaan iba betapa sedihnya ia telah hidup tanpa ayah sejak lahir, tapi juga terselip prasangka apakah ia masih menyimpan dendam kepada orang-orang Indonesia. Seakan ia tahu bahwa ada perubahan dalam ekspresiku maka ia buru-buru menetralisirnya dengan mengatakan “Memang itu sejarah hidup saya yang menyedihkan, tapi peristiwa itu sudah lama sekali berlalu dan sekarang masa damai, jadi saya tidak perlu merenungi hal itu lagi, saya harus maju dan sukses!”. Dengan ekspresi yang berubah menjadi riang dan tertawa geli ia juga bercerita bahwa ia waktu itu termasuk salah satu orang Timor Timur yang melakukan demo dengan melempari batu ke kantor Konsultat Indonesia di Darwin serta menghancurkan beberapa kendaraan mobil di halaman depannya, tapi tidak sempat membakarnya karena dicegah dan dihalang-halangi polisi yang menjaganya dengan ketat. Menurut cerita beberapa sesepuh orang Indonesia di Darwin, saat ini memang orang-orang Indonesia di Darwin cukup menderita karena cukup lama menjadi korban sasaran caci maki bukan saja oleh orang Timor Timur tapi juga oleh orang-orang Australia yang pro kemerdekaan Timor Timur.

Nelson menyadari bahwa sebenarnya sejak menjadi bagian Indonesia memang Timor Timur menjadi lebih maju dibandingkan ketika masih mnejadi bagian dari Portugal. Namun ia menyayangkan tindakan tentara Indonesia (TNI) saat itu yang masih bertindak brutal terhadap rakyat yang dianggap masih antipasti terhadap pemerintah Indonesia. Misalnya cukup sering TNI mendatangi rumah-rumah atau kantor mereka di malam hari, menggeledahnya, menghancurkan barang-barang dan mengambil komputer, TV atau perabot lainnya yang berharga. Tindakan-tindakan itu yang salah satunya membuat mereka terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia di Timor Timur.

Namun saat ini dengan kehidupan barunya di Australia, ia merasa harus bisa melupakan semua masa kelam itu. Pemerintah Timor Leste (dimotori oleh Xanana Gusmao) saja sudah menjalin hubungan diplomatik yang cukup mesra dengan Pemerintah Indonesia, kenapa ia harus menyimpan dendam yang berkepanjangan terhadap orang Indonesia yang sebenarnya juga masih bersaudara. Selain itu, saat ini di Darwin ia pun banyak berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang selain karena pekerjaan juga karena memiliki kesamaan dalam bahasa yang dikuasai. Bahkan dalam kesehariannya ia pun harus berhubungan dan saling membantu dengan sesama orang Timor Leste walaupun dahulunya berseberangan paham karena “pro-integrasi” dengan Indonesia. Meskipun masih ada saja pihak-pihak yang masih mencoba memprovokasi orang Timor Leste untuk tetap memusuhi dan antipati terhadap orang dan Pemerintah Indonesia.  Di perantauan, walaupun kita di negara sendiri berbeda paham, suku, agama tetapi bila berada di negara orang lain kita tetap merasa lebih dekat dan nyaman berada ditengah-tengah bangsa sendiri karena adanya banyak kesamaan yang dimiliki.

Sadisnya pertikaian dan kejamnya perang telah merenggut sebagian kebahagiaan sahabatku ini dan banyak lagi anak-anak, isteri-isteri dan para orangtua di berbagai belahan dunia yang ditinggal mati orang-orang tercintanya yang tewas karena korban pertikaian dan perang. Hentikan perang, cegah perang, hindari pertikaian, kurangi sifat haus kekuasaan, tegakkan keadilan, sejahterakan rakyat, dan ciptakan kedamaian di bumi yang fana ini.

Aku, kita semua… tidak mau kehilangan orang yang sangat kita cintai karena perang.

Salam perdamaian.

Darwin, 27 Desember 2012

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More