Berbeda
dengan ketika masih berada di Bandara Darwin, setibanya aku di Bandara Ngurah
Rai Denpasar Bali, aku merasa sudah lebih percaya diri. Begitu diberikan Form Pemberitahuan
Keberangkatan/Kedatangan oleh petugas Imigrasi, aku merasa tidak perlu lagi
mengisinya tapi cukup dengan mengambil form yang sudah diisi ketika berangkat ke
Darwin yang memang sengaja aku simpan.
Aku sempat
bertanya sebentar kepada petugas loket “visa on arrival” yang ternyata tak
perlu membayar lagi bagi pemegang passport Indonesia. Kemudian aku mengantri untuk
menjalani pemeriksaan passport dan pemberian stempel Imigrasi Bandara Ngurah
Rai. Dengan rasa percaya diri yang masih kuat, aku sampai pada tempat
pemeriksaan “x-ray” yang juga aku lalui dengan sikap santai karena hal ini sudah
biasa aku lakukan karena profesiku yang menuntut aku sering bepergian ke hampir
seluruh propinsi di Indonesia, dan terutama karena petugasnya berkomunikasi
dalam bahasa Indonesia yang berbeda kalau kita bepergian ke luar negeri yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu.
Ketika tiba
tiba di pintu keluar, aku pun dengan mudah dan enteng menepis tawaran-tawaran
para supir taksi resmi maupun gelap untuk langsung menuju keluar dari pintu
kedatangan segera mencari ATM dan musholla untuk melaksanakan sholat Subuh yang
waktunya hamper kelewatan. Di ATM BCA yang ada di terminal keberangkatan, aku
pun segera membayar tagihan Telkomsel handphoneku dan isteriku dan tentunya
mengecek saldonya. Bahkan akupun sempat menanyakan dimana lokasi musholla
kepada orang yang kebetulan ada di situ, cleaning service dan bahkan satpam
bandara.
Ketika sedang
menuju lokasi musholla yang ditunjukkan oleh mereka yaitu di Kantor KP3 Bandara,
seketika aku terkaget setengah mati ketika berpapasan dengan para penumpang
lain yang membawa trolly dengan koper-koper di atasnya. Mereka datang membawa
koper-koper bagasi mereka, sedangkan aku kok hanya membawa tas laptop… dimana
koper-koper yang aku bawa dari Darwin? Seketika itu juga aku menjadi tegang,
darah serasa mendesir di sekujur tubuhku dan badanku menjadi lemas. Timbul
pikiran yang tidak karuan, bagaimana kalau sampai koper-koper itu hilang atau proses
untuk mengurus pengambilannya butuh waktu lama dan waktu yang ada menjadi tidak
“connect” dengan jadwal keberangkatanku dengan Batavia Air ke Jakarta jam 12.00
nanti… Kok jadi runyam urusannya!
Bergegas aku
menuju pintu dimana waktu itu aku keluar dan ternyata pintu itu sudah ditutup
dan terkunci, situasi ini semakin menambah keteganganku. Lalu aku diberitahu seorang
supir taksi (mungkin salah satu yang kutolak tadi!) bahwa masuknya bisa dari
pintu sebelah sana di tempat para security berjaga. Setelah menjelaskan dan minta
ijin tujuannya maka aku masuk ke dalam. Tampak semua sudah sepi, kosong dan setelah
menyusuri ruang-ruang yang ada akhirnya aku masuk ke ruang yang pintunya masih
terbuka, di sana ada beberapa petugas (tidak jelas petugas Airasia atau petugas
bandara) yang masih berjaga. Alhamdulillah ternyata koperku sudah diamankan oleh
mereka dan alhamdulillah koper-koperku tersebut juga bisa diambil tanpa
dipersulit oleh petugasnya, padahal petugas Airasia Darwin tidak memberikan stempel
bagasi yang biasanya dilekatkan di tiket atau boarding pass.
Sekali lagi
aku bersyukur dengan mengucapkan Alhamdulillah, karena mungkin semua ini adalah
peringatan Allah kepadaku yang terlalu merasa percaya diri di sepanjang
perjalanan namun sekaligus Allah juga memberikan kemudahan pada jalan keluarnya,
oleh karena masih ada terselip niat baik karena Allah yaitu ketika itu aku
berniat menunaikan ibadah sholat Subuh sehingga terburu-buru keluar pintu
kedatangan dan terlupa mengambil koper yang diturunkan dari bagasi pesawat.
Ada-ada saja…
Bandara Ngurah
Rai Bali, 22 Februari 2011
0 comments:
Post a Comment