Foto: http://exclusivemu.blogspot.com
Ibuku
seorang wanita bermata satu. Entahlah, kadang dalam hati aku berontak
dan protes. Mengapa Tuhan memberiku seorang ibu bermata satu. Tidak
seperti teman-temanku. Ibu mereka begitu anggun dengan mata jelita. Lama
kelamaan, aku begitu benci padanya. Karenanya hidupku dihimpit rasa
malu dan cibiran teman-teman. Apalagi, ibuku hanya seorang tukang masak
di sekolah tempat aku belajar. Memang sejak dulu aku tidak mengenal
ayahku. Aku pun tidak tahu sebab musababnya. Ia dipanggil Sang Khalik
saat aku masih kecil sekali. Jadi untuk menghidupiku, ibu harus bekerja
sebagai tukang masak. Hmm, tukang masak yang sangat membuatku minder dan
malu terhadap teman-teman. Ada satu peristiwa yang tidak dapat aku
lupakan. Dan itu pula yang menyulut api kebencianku padanya. Suatu hari,
saat aku masih duduk di madradah ibtidaiyyah, teman-teman sekelas
mengejek diriku, hingga aku menangis. Tak kuasa menyaksikan anaknya
menjadi bulan-bulanan ejekan, ibuku bergegas datang menghampiriku.
Memelukku dan mengusir anak-anak yang mengerubutiku. Perbuatan ibuku itu
justru membuatku semakin malu. Mengapa ia melakukan hal itu di hadapan
teman-temanku? Mengapa ia harus muncul dan menjadikanku bahan tertawaan
mereka?
Akan tetapi, aku berpura-pura tidak mengenalnya. Lalu
menatap tajam ke arahnya dengan penuh kebencian! Namun ibuku hanya diam
dan tidak menjawab. Yang aku khawatirkan pun terjadi. Keesokkan harinya
salah seorang murid berseru lantang, “Ooh, itukah ibumu yang hanya
memiliki satu mata!??”. Seruan itu pun disambut gelak tawa dan ejekan
teman-temanku. Sungguh memalukan. Dendam kesumat terhadap ibu yang
menjadi sebab aku diolok-olok semakin membara.Mulai saat itu aku sangat
ingin mengubur ibuku hidup-hidup. Atau mengusirnya jauh dari
kehidupanku.
Pernah suatu hari aku datang menghadapnya. Menatap
tajam seraya membentak: “Engkau telah menjadikan aku bahan tertawaan.
Mengapa engkau tidak segera mati saja??!! Akan tetapi, sekali lagi ia
hanya diam dan tidak menjawab. Nampak pancaran kasih sayang dari
keteduhan pandangannya. Saat itu aku tidak lagi berpikir sehat tentang
apa yang aku katakan padanya. Aku tidak ragu akan keberanianku itu. Dan
aku pun tidak mau tahu bagaimana perasaannya saat itu. Bahkan, ingin
sekali aku pergi sejauh-jauhnya agar tidak melihat wajah ibuku.Tahun
bergulir bersama kebencian hatiku terhadap ibu. Tak terasa aku telah
menyelesaikan tingkat aliyah, dan mendapat beasiswa kuliah di Singapura.
Begitu girang hatiku menyambut hal itu. Aku bisa menjauh dari ibu yang
membuatku selalu merasa malu dan minder. Karena ibuku hanya seorang
wanita miskin bermata satu. Tidak ada yang dapat dibanggakan darinya.
Segera aku pun bertolak menuju Singapura dibawah tatapan berat ibuku.
Memulai hari-hari kuliah di sana. Tak ada lagi ejekan dan hinaan
orang-orang terhadapku…
Setelah tamat kuliah dan bekerja, aku
menikah dengan seorang wanita Singapura dan membeli rumah di sana. Dari
hasil perkawinan kami, lahirlah anak-anak yang lucu. Sungguh kehidupanku
kini begitu tenang dan bahagia. Suatu hari, tiba-tiba wanita bermata
satu itu datang ke rumahku. Alasannya, ia begitu rindu terhadapku dan
juga kepada cucu-cucunya. Sebab, jujur, sejak menginjak Singapura aku
tidak pernah lagi pulang menjenguknya. Komunikasi kami hanya sebatas
surat menyurat. Itu saja. Aku sengaja berdiri di depan pintu.
Anak-anakku mulai tertawa dan mengejek wanita itu. “Mengapa engkau
begitu berani datang dan membuat anak-anakku ketakutan??! Keluar dan
pergi saat ini juga… “. Bentakku. Tenang ia menjawab: “Maaf, kayaknya
saya salah alamat”. Lalu ia berpaling setelah sempat tersenyum padaku
dan anak-anakku.
Beberapa hari berselang, datang undangan dari
sekolah, untuk acara temu alumni madarsah aliyah tempatku belajar
dahulu. Itu artinya, aku akan bertemu ibu juga. Aku pun harus berbohong
pada istriku. Bahwa kepergianku ini untuk urusan pekerjaan. Bukan untuk
menghadiri temu alumni tersebut. Setelah acara pertemuan selesai, aku
bergegas menuju rumah ibuku, sekedar melihat dan mengetahui keadaannya.
Rumah itu masih seperti dulu. Tidak ada perubahan. Cuma di sana sini
nampak kayu-kayu usang dimakan rayap. Aku mendorong pintu dan masuk.
Namun rumah tua itu kosong. Senyap. Tak ada siapa pun di dalamnya.
Seluruh barang-barang milikku waktu kecil masih tertata rapi. Bahkan
mainan hasil rautan tangan ibuku pun masih ada dipojok sana. Tapi aneh.
Mengapa rumah ini sunyi? Dimanakah ibu? Setelah berkeliling sejenak,
tiba-tiba seorang masuk. Ia adalah tetangga sebelah rumah. Lama ia
menatapku. Setelah yakin apa yang dilihat, ia pun berujar, “Ibumu telah
meninggal kemarin sore…”. Anehnya, tak ada setetes air mata pun yang
menitik..!!
Tanah kuburan itu masih merah. Angin
bertiup lembut mengelus lembut wajahku. Aku berdiri sejenak, hanya untuk
“berpamitan” pulang. Walau sebenarnya ada secuil sedih kehilangan
wanita itu. Sebuah tangan menyentuh pundakku dari belakang. Ternyata ia
adalah tetangga sebelah rumah yang tadi mengabarkan kepergiaan ibuku.
“Ibumu tidak meninggalkan apa-apa nak. Ia hanya berpesan, jika engkau
datang agar diberikan surat ini padamu”. Ujar laki-laki paruh baya itu
seraya menyodorkan sebuah surat lusuh.
Aku membuka dan membaca
isinya: “Anakku tercinta, sungguh hati ini begitu berat menanggung rindu
padamu. Pikiranku begitu kacau memikirkan keadaanmu. Ibu minta maaf
atas kunjungan ibu dahulu ke Singapura yang membuat anak-anakmu takut.
Yang ibu lakukan itu hanya lantaran begitu rindu padamu. Sungguh, ibu
begitu bahagia mendengar bahwa engkau akan datang menghadiri reuni
sekolah itu. Akan tetapi ibu minta maaf, ibu tidak bisa lagi bangkit
dari tempat tidur untuk melihatmu wahai anakku. Oh ya, ibu juga ingin
minta maaf sedalam-dalamnya jika selama ini ibu membuatmu malu dan
minder. Sungguh, berjuta-juta maaf ibu haturkan padamu. Tahukah engkau
wahai anakku… waktu engkau masih kecil dulu, terjadi kecelakaan yang
merenggut nyawa ayahmu dan merampas salah satu matamu?? Sebagai seorang
ibu, aku tidak tega melihatmu besar hanya dengan satu mata. Karenanya, …
ibu berikan engkau salah satu mata ibu. Sungguh ibu sangat bahagia dan
bangga, sebab engkau tumbuh dewasa dengan mata normal dan dapat
menyaksikan dunia ini dengan kedua matamu… Cintaku selalu
untukmu…ibumu..!.
Secarik kertas yang telah basah dengan air
mataku itu terasa berat. Berat sekali. Lututku goyah dan lemas. Aku
jatuh berlutut di hadapan pusara yang masih merah itu. Seumur hidupku,
baru kali ini aku menangis dan merasa kehilangan ibu. Dadaku sesak
menanggung beban penyesalan yang sangat. Namun semua sudah terlambat.
Penyesalanku ibarat buih yang hancur berkeping terbentur karang yang
kokoh…
Semoga dapat dijadikan Ibroh.
__________________________________________________________
Sumber: http://www.facebook.com/abu.a.assundawy/posts/4014084712921
Posted in: Inspiring Stories,Renungan
0 comments:
Post a Comment